Selasa, 25 Februari 2025

WAHAI PARA PEMUDA HISABLAH DIRIMU SEBELUM ENGKAU DIHISAB

SUMBER:https://islamweb.net/ar/article/228760/%D8%AD%D8%A7%D8%B3%D8%A8%D9%88%D8%A7-%D8%A3%D9%86%D9%81%D8%B3%D9%83%D9%85-%D9%82%D8%A8%D9%84-%D8%A3%D9%86-%D8%AA%D8%AD%D8%A7%D8%B3%D8%A8%D9%88%D8%A7

Wahai Para Pemuda!

Sesungguhnya panjang angan-angan adalah penyakit yang obatnya terdapat dalam dua hal yang agung:

  1. Selalu melakukan muhasabah (introspeksi diri).
  2. Selalu mengingat kematian.

Muhasabah (Introspeksi Diri)

Maksud dari muhasabah adalah seseorang meneliti amalnya, memperhatikan perkataan dan perbuatannya, serta semua yang keluar darinya secara berkala. Jika ia menemukan kebaikan, maka ia lanjutkan dan tambahkan dengan yang serupa. Namun, jika ia mendapati keburukan, maka ia perbaiki jika memungkinkan, bertobat, beristighfar, serta meninggalkan perbuatan serupa di masa mendatang.

Dalil tentang pentingnya muhasabah terdapat dalam firman Allah ﷻ:

Allah ﷻ berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Hasyr: 18)

Allah ﷻ berfirman:
{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ}
"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang dirugikan barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan."
(QS. Al-Anbiya: 47)

Allah ﷻ berfirman:
{يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ}
"Pada hari ketika Allah membangkitkan mereka semua, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitung (semua amal perbuatan itu), padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu."
(QS. Al-Mujadilah: 6)

Dari ayat-ayat tersebut, para ulama memahami bahwa Allah ﷻ selalu mengawasi amal perbuatan hamba-Nya. Setiap amal telah dihitung dengan teliti, dan setiap manusia akan berdiri di hadapan-Nya untuk mempertanggungjawabkan sekecil apa pun perbuatannya. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat menyelamatkan seseorang dari hisab yang berat kecuali dengan selalu melakukan muhasabah dan pengawasan diri dalam setiap nafas, langkah, perkataan, dan perbuatan.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

Rasulullah ﷺ bersabda:
"الكَيِّسُ مَن دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوتِ، وَالعَاجِزُ مَن أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ الأَمَانِيَّ"
"Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kosong kepada Allah."
(HR. At-Tirmidzi, hasan)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:
"لا تزولا قدما عبد يوم القيامة حتى يُسأل عن أربع: عن عمره فيما أفناه، وعن شبابه فيما أبلاه، وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه، وعن علمه ماذا عمل فيه"
"Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari Kiamat sampai ia ditanya tentang empat hal: (1) tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, (2) tentang masa mudanya, bagaimana ia gunakan, (3) tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, (4) tentang ilmunya, bagaimana ia amalkan."
(HR. At-Tirmidzi, hasan sahih)


Dengan ayat-ayat ini dan yang serupa dengannya, para pemilik wawasan mengambil pelajaran bahwa Allah Ta'ala selalu mengawasi amal perbuatan mereka. Allah telah mencatatnya secara lengkap dan menghitungnya secara rinci. Mereka yakin bahwa kelak mereka akan berdiri di hadapan-Nya untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang tampak sepele seperti bisikan hati, pandangan mata, ucapan, dan setiap gerakan. Oleh karena itu, mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk selamat dari hisab yang berat adalah dengan selalu melakukan muhasabah (introspeksi diri) serta mengawasi diri sendiri dengan penuh ketelitian, memperhitungkan setiap hembusan nafas, langkah, dan perkataan mereka.

Hal ini merupakan kebiasaan orang-orang yang cerdas dan berakal, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ:

"الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت، والعاجز من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله الأماني"
"Orang yang cerdas adalah orang yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya lalu berangan-angan kepada Allah." (HR. Tirmidzi, hadis hasan).

Rasulullah ﷺ juga telah mengabarkan kepada kita bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu, sebagaimana dalam sabda beliau:

"لا تزولا قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع: عن عمره فيما أفناه، وعن شبابه فيما أبلاه، وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه، وعن علمه ماذا عمل فيه"
"Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat hal: tentang umurnya, bagaimana ia menggunakannya; tentang masa mudanya, bagaimana ia menghabiskannya; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan; serta tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya."

Maka, wajib bagi setiap orang untuk menyadari bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah dan dimintai pertanggungjawaban. Orang yang menyadari hal ini seharusnya mempersiapkan jawaban yang tepat dan benar untuk menghadapi hisab tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh kepada seseorang:

"Berapa usiamu?"
Orang itu menjawab, "Enam puluh tahun."
Fudhail berkata, "Berarti selama enam puluh tahun engkau berjalan menuju Allah dan sebentar lagi engkau akan sampai."
Orang itu berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un."
Fudhail bertanya, "Apakah engkau tahu maknanya?"
Orang itu menjawab, "Ya, aku tahu bahwa aku adalah hamba Allah dan kepada-Nya aku akan kembali."
Fudhail berkata, "Wahai saudaraku, siapa yang tahu bahwa ia adalah hamba Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka ia harus menyadari bahwa ia akan berdiri di hadapan-Nya. Dan siapa yang tahu bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, ia harus tahu bahwa ia akan dihisab. Dan siapa yang tahu bahwa ia akan dihisab, maka hendaknya ia menyiapkan jawaban." (Hilyatul Auliya’)

Muhasabah ini sangat penting, sebagaimana yang dipesankan oleh Umar bin Khattab رضي الله عنه:

"حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوا أعمالكم قبل أن توزن عليكم، وتزينوا للعرض الأكبر {يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ} [الحاقة:18]، وإنما يخف الحساب يوم القيامة على من حاسب نفسه في الدنيا"
"Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang, dan bersiaplah untuk hari perhitungan yang besar. 'Pada hari itu kamu akan dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi.' (QS. Al-Haqqah: 18). Sesungguhnya hisab akan menjadi ringan bagi orang yang telah menghisab dirinya di dunia."

Beliau juga berkata:

"حاسب نفسك في الرخاء قبل حساب الشدة، فإن من حاسب نفسه في الرخاء عاد أمره إلى الرضى والغبطة، ومن شغلته حياته، وألهته أهواؤه عاد أمره إلى الندامة والحسرة"
"Hisablah dirimu di waktu lapang sebelum datang masa sulit. Barang siapa yang menghisab dirinya saat lapang, maka urusannya akan berakhir dengan keridhaan dan kebahagiaan. Sedangkan siapa yang disibukkan oleh kehidupannya dan terpedaya oleh hawa nafsunya, maka urusannya akan berakhir dengan penyesalan dan kesedihan."

Allah juga bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri:

{وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ}

("Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri.") (QS. Al-Qiyamah: 2)

Al-Hasan Al-Bashri berkata:

"Engkau tidak akan menemukan seorang mukmin kecuali ia selalu menyesali dirinya sendiri: Mengapa aku melakukan ini? Apa tujuan dari perbuatanku ini?"

Malik bin Dinar juga berkata:

"Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata kepada dirinya sendiri: Bukankah engkau yang melakukan ini dan itu? Lalu ia menundukkan dirinya, mengekangnya, dan menundukkannya dengan kitab Allah, sehingga kitab itu menjadi pemimpinnya."

Maimun bin Mihran berkata:

"Seorang hamba tidak akan menjadi muttaqin (bertakwa) sampai ia menghisab dirinya sendiri sebagaimana seorang pedagang yang sangat teliti dalam menghitung modal dan keuntungannya."

Contoh Muhasabah:

  • Anas bin Malik رضي الله عنه menceritakan bahwa Umar bin Khattab pernah memasuki kebun kurma dan terdengar berkata kepada dirinya sendiri: "Umar bin Khattab, Amirul Mukminin! Hebat! Demi Allah, engkau harus bertakwa kepada Allah, wahai Umar, atau Allah akan mengazabmu!"

  • Yazid Ar-Raqashi setiap hari menghisab dirinya, lalu menangis dan berkata: "Celakalah engkau, wahai Yazid! Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah kematianmu? Siapa yang akan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapa yang akan bersedekah untukmu setelah kematianmu?"

Manfaat Muhasabah:

  1. Menyadari nikmat Allah dan memahami kewajiban bersyukur kepada-Nya.

  2. Memahami kekurangan diri dalam mensyukuri nikmat Allah.

  3. Mengenali penyakit hati dan mencari cara untuk mengobatinya.

  4. Menghindari kelalaian akibat panjang angan-angan.

  5. Menjaga diri dari kesalahan dan segera bertaubat jika tergelincir.

  6. Selalu siap menghadapi pertemuan dengan Allah.

  7. Memudahkan hisab pada hari kiamat.

Barang siapa yang ingin hisabnya ringan di hadapan Allah, hendaknya ia menghisab dirinya sekarang. Rasulullah ﷺ bersabda:

"الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت، والعاجز من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله الأماني"
(HR. Tirmidzi, hadis hasan).

terjemahan tafsir Syiekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah dalam QS. An-Nisa: 110

 link Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah : https://binbaz.org.sa/audios/3432/%D8%AA%D9%81%D8%B3%D9%8A%D8%B1-%D9%82%D9%88%D9%84%D9%87-%D8%AA%D8%B9%D8%A7%D9%84%D9%89-%D9%88%D9%85%D9%86-%D9%8A%D8%B9%D9%85%D9%84-%D8%B3%D9%88%D8%A1%D8%A7-%D8%A7%D9%88-%D9%8A%D8%B8%D9%84%D9%85-%D9%86%D9%81%D8%B3%D9%87-%D8%AB%D9%85-%D9%8A%D8%B3%D8%AA%D8%BA%D9%81%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87-%D9%8A%D8%AC%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87-%D8%BA%D9%81%D9%88%D8%B1%D8%A7-%D8%B1%D8%AD%D9%8A%D9%85%D8%A7


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Allah Subhanahu Wa Ta'alla berfirman :

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

(Barang siapa yang mengerjakan keburukan atau menzalimi dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.)

(QS. An-Nisa: 110)

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata tentang ayat ini:

"Allah memberitahukan kepada hamba-Nya tentang ampunan-Nya, kelembutan-Nya, kemurahan-Nya, keluasan rahmat-Nya, dan maghfirah-Nya. Maka siapa pun yang berbuat dosa, baik kecil maupun besar, kemudian memohon ampun kepada Allah, niscaya ia akan mendapati Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang, meskipun dosa-dosanya lebih besar dari langit, bumi, dan gunung-gunung." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir).

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah  berkata:

"Ini merupakan bagian dari keutamaan dan rahmat Allah yang Maha Suci dan yang Maha Tinggi serta kelembutan dan kemurahan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang bertobat dan kembali kepada-Nya, maka Allah akan menerima tobatnya, meskipun dosa-dosanya sangat besar. Bahkan, dosa yang paling besar sekalipun, yaitu syirik kepada Allah. Jika seseorang masuk Islam, meninggalkan syirik, dan bertobat dengan tulus kepada Allah, maka Allah akan menerima tobatnya."

Hal ini sebagaimana terjadi pada masa Nabi ﷺ saat Fathul Makkah, di mana banyak orang yang sebelumnya memerangi Nabi dan para sahabat, lalu bertobat. Maka Allah menerima tobat mereka dan mengampuni mereka.

Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا


(Barang siapa yang mengerjakan keburukan atau menzalimi dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.)

(QS. An-Nisa: 110)

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


(Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”)

(QS. Az-Zumar: 53)

Para ulama sepakat bahwa ayat ini berlaku bagi orang-orang yang bertobat. Maka, jika mereka bertobat dan kembali kepada Allah serta bertakwa, Allah akan menerima tobat mereka dari dosa syirik dan dosa-dosa lainnya. Oleh karena itu, tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya, seseorang harus berbaik sangka kepada Allah dan segera bertobat dengan penuh keikhlasan, menyesali dosa yang telah lalu, meninggalkan dosa-dosa tersebut, serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Jika seseorang memiliki hak orang lain yang masih ia tahan, maka wajib baginya untuk mengembalikan hak tersebut atau meminta kehalalan dari pemiliknya. Jika seseorang bertobat dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuninya, sebagai bentuk kemurahan dan rahmat-Nya.

Hukum Orang yang Meninggal dalam Keadaan Syirik

Pertanyaan: Bagaimana hukum seseorang yang meninggal dalam keadaan syirik?

Jawaban: Orang yang meninggal dalam keadaan syirik tidak akan diampuni oleh Allah, dan surga diharamkan baginya.

Sebagaimana firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ


(Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.)

(QS. An-Nisa: 48)

Hukum Kemunafikan

Pertanyaan: "Bagaimana dengan kemunafikan?"

Jawaban: "Kemunafikan besar (nifaq akbar) juga demikian, sebagaimana firman Allah:


إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

(Sesungguhnya orang-orang munafik berada di tingkatan paling bawah dari neraka) (An-Nisa: 145).

Kemunafikan besar adalah seseorang yang menyembunyikan kesyirikan dan kekufuran kepada Allah, tetapi secara lahiriah menampakkan Islam. Hakikatnya, ia berada bersama orang-orang musyrik dalam batinnya. Inilah nifaq akbar.

Adapun kemunafikan kecil (nifaq asghar), seperti berbohong, berbuat curang dalam perselisihan, mengingkari janji, serta berdusta dalam ucapan, maka ini disebut sebagai kemunafikan kecil, dan pelakunya termasuk dalam golongan orang-orang yang bermaksiat. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal ini."

Pertanyaan: "Apakah Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas?"

Jawaban: "Ia banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, tetapi ia tidak pernah mendengar langsung darinya. Ini yang dikenal dalam ilmu hadis, yaitu sanadnya munqathi' (terputus), namun ia banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas."

Ibnu Jarir juga berkata:

Muhammad bin al-Mutsanna meriwayatkan kepada kami, Muhammad bin Abi Adi meriwayatkan kepada kami, Syu'bah meriwayatkan kepada kami dari 'Ashim, dari Abu Wa'il, ia berkata:

Abdullah berkata: Dahulu, jika Bani Israil melakukan suatu dosa, maka keesokan harinya mereka akan menemukan kafarat (penebus dosa) tersebut tertulis di pintu rumah mereka. Jika mereka terkena najis berupa air kencing, maka mereka akan memotong bagian yang terkena najis tersebut dengan gunting.

Lalu seseorang berkata, "Sungguh, Allah telah memberikan sesuatu yang baik kepada Bani Israil." Maka Abdullah berkata:

"Apa yang Allah berikan kepada kalian lebih baik dari yang diberikan kepada mereka. Allah menjadikan air sebagai alat untuk menyucikan kalian." Kemudian ia membaca firman Allah:


وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ 


(Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka.) (Ali 'Imran: 135).

Dan firman-Nya:


وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا 


(Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menzalimi dirinya sendiri, kemudian dia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.) (An-Nisa: 110).

Imam Ahmad berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Rahman bin Mahdi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Utsman bin Mughirah, ia berkata: Aku mendengar Ali bin Rabi’ah dari Bani Asad meriwayatkan dari Asma’ atau Ibn Asma’ dari Bani Fazarah, ia berkata: Ali رضي الله عنه berkata:

"Ketika aku mendengar sesuatu dari Rasulullah ﷺ, maka Allah memberikan manfaat kepadaku dengan apa yang Dia kehendaki. Dan Abu Bakar—dan Abu Bakar adalah seorang yang jujur—telah menceritakan kepadaku, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: 'Tidaklah seorang Muslim melakukan dosa, kemudian ia berwudhu, lalu mengerjakan salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah atas dosa tersebut, melainkan pasti Allah akan mengampuninya.' Kemudian beliau membaca dua ayat ini:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ... (QS. An-Nisa: 110)

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ... (QS. Ali 'Imran: 135)

Kami telah membahas hadis ini dan menisbatkannya kepada para perawi dari kalangan penyusun kitab Sunan, serta telah kami sebutkan kritik terhadap sanadnya dalam Musnad Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي الله عنه, dan sebagian dari pembahasannya telah disebutkan dalam tafsir surat Ali 'Imran.

Ibnu Mardawaih juga meriwayatkannya dalam tafsirnya dari jalur lain yang berasal dari Ali رضي الله عنه, ia berkata:

"Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ziyad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ishaq Al-Harrani."

(Catatan: Dalam naskah Asy-Sya'b, disebutkan sebagai Al-Harbi.)

Syaikh berkata: "Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi dikenal sebagai seorang imam yang terpercaya. Yang tertulis di sana Al-Harbi atau Al-Harrani?"

Salah seorang murid menjawab: "Al-Harrani."

Syaikh berkata: "Coba periksa, apakah ada Al-Harrani dalam kitab 'At-Taqrib' atau 'Al-Khulashah'?"

Yang diketahui adalah Al-Harbi, sebagaimana tertulis dalam naskah Asy-Sya'b. Beri tanda pada Al-Harrani, kemungkinan besar—dan Allah lebih mengetahui—itu adalah kesalahan penulisan (tashif).

Seorang murid berkata: "Hanya ada satu orang dengan nama ini... yaitu Ibrahim bin Ishaq bin Isa Al-Bunani—dengan huruf 'ba' yang didhammah, lalu 'nun'—maula mereka, Abu Ishaq Ath-Thalaqani, yang menetap di Marw, dan kadang dinisbatkan kepada kakeknya. Ia seorang yang shaduq (jujur), namun memiliki beberapa riwayat yang gharib. Ia berasal dari generasi kesembilan, wafat pada tahun 215 H. (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)."

Syaikh berkata: "Tidak ada perawi lain?"

Murid menjawab: "Tidak ada yang lain."

Syaikh berkata: "Mungkin ia tidak meriwayatkan dari mereka, sebab ia hidup setelah masa Abu Dawud dan An-Nasa’i. Coba periksa dalam 'Al-Khulashah' dan 'At-Taqrib'."

Seorang murid bertanya: "Apakah sebaiknya kita koreksi menjadi 'Al-Harbi', wahai Syaikh?"

Syaikh menjawab: "Tidak, biarkan sebagai nash sampai kita meneliti lebih lanjut."

Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Mehran Ad-Dabbagh, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yazid, dari Abu Ishaq, dari Abdu Khair, dari Ali رضي الله عنه, ia berkata:

"Aku mendengar Abu Bakar—yang merupakan Ash-Shiddiq—berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, lalu ia bangkit dan berwudhu dengan sempurna, kemudian mengerjakan salat dan memohon ampunan atas dosanya, melainkan pasti menjadi hak Allah untuk mengampuninya,' karena Allah berfirman: 

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ... (QS. An-Nisa: 110)."

Kemudian hadis ini juga diriwayatkan dari jalur lain melalui A'ban bin Abi Ayyash, dari Abu Ishaq As-Sabi’i, dari Al-Harith, dari Ali رضي الله عنه, dari Ash-Shiddiq رضي الله عنه dengan lafaz yang serupa. Akan tetapi, sanad ini tidak sahih.

Syaikh berkata: *"Maksudnya, sanad terakhir ini lemah karena A'ban bin Abi Ayyash seorang yang dha'if, begitu pula Al-Harith Al-A'war. Namun, hadis ini memiliki jalur lain yang tidak mengapa (la ba'sa bihi), dan maknanya menunjukkan bahwa wudhu sebelum bertaubat termasuk sebab diterimanya taubat. Jika seorang hamba bertaubat dengan taubat yang tulus, baik dalam keadaan berwudhu maupun tidak, maka Allah akan menerimanya, sebagaimana firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ 

(QS. Asy-Syura: 25)

Maka siapa pun yang bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang sungguh-sungguh, baik dalam keadaan berwudhu maupun tidak, Allah pasti menerimanya. Namun, jika dilakukan dalam keadaan suci, dengan penuh kerendahan hati, banyak menangis karena takut kepada Allah, tentu itu lebih sempurna."

Pertanyaan: Apakah hadis ini dengan seluruh jalur periwayatannya bisa naik derajatnya?

Jawaban: Tidak mengapa, hadis ini memiliki beberapa jalur, dan sebagian jalurnya baik, sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Ahmad.

Ibn Mardawaih meriwayatkan:

قال ابنُ مردويه: حدَّثنا محمد بن علي بن دحيم: حدَّثنا أحمد بن حازم: حدَّثنا موسى بن مروان الرقي: حدَّثنا مبشر بن إسماعيل الحلبي، عن تمام بن نجيح: حدَّثني كعب بن ذهل الأزدي، قال: سمعت أبا الدَّرداء يُحدّث قال:

"Dulu Rasulullah ﷺ ketika duduk bersama kami, jika beliau memiliki keperluan dan ingin pergi lalu kembali, beliau akan meninggalkan sandal atau sesuatu dari pakaian beliau di tempat duduknya. Suatu ketika, beliau pergi dan meninggalkan sandal beliau.

Abu Darda berkata: Aku mengambil tempat air berisi air, lalu mengikutinya. Beliau pergi sejenak, lalu kembali tanpa menyelesaikan keperluannya. Kemudian beliau bersabda: 'Tadi ada utusan dari Rabbku yang datang kepadaku dan menyampaikan firman-Nya:'

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا (QS. An-Nisa: 110).

"Maka aku ingin memberi kabar gembira kepada sahabat-sahabatku."

Abu Darda berkata: Ayat sebelumnya

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ (QS. An-Nisa: 123)

"terasa berat bagi manusia. Lalu aku bertanya: 'Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang berzina dan mencuri, lalu dia memohon ampun kepada Rabbnya, apakah dia akan diampuni?' Rasulullah menjawab: 'Ya.' Aku bertanya lagi untuk kedua kalinya, beliau menjawab: 'Ya.' Aku bertanya lagi untuk ketiga kalinya, beliau menjawab: 'Ya, meskipun ia berzina dan mencuri, lalu memohon ampun kepada Allah, maka Allah akan mengampuninya, meskipun itu membuat Abu Darda merasa enggan menerimanya.' Kemudian aku melihat Abu Darda memukul hidungnya sendiri dengan jarinya."

Hadis ini sangat gharib dengan jalur periwayatan dan konteks seperti ini. Dalam sanadnya terdapat kelemahan.

Pendapat Syaikh:

Hadis ini memiliki makna yang masyhur dari riwayat Abu Dzar yang disebutkan dalam Shahih Muslim:

"Meskipun Abu Dzar merasa enggan menerimanya."

Allah ﷻ telah memberikan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Siapa pun yang bertobat dengan tulus dan masuk Islam, maka Allah akan mengampuninya, meskipun sebelumnya ia berzina dan mencuri, karena dasar utama adalah tauhid. Jika seseorang bertobat dengan tulus, masuk Islam, dan kembali kepada Allah, maka ia berada dalam kebaikan dan harapan. Namun, jika ia mati dalam keadaan berzina tanpa bertobat, maka ia berada di bawah kehendak Allah. Jika ia bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Allah ﷻ berfirman:


وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ (QS. Asy-Syura: 25).


Siapa pun yang bertobat dengan tulus, baik dalam keadaan berwudhu atau tidak, Allah akan menerima tobatnya. Namun, jika ia bertobat dalam keadaan suci, dengan wudhu, penuh ketundukan, dan menangis karena takut kepada Allah, maka itu lebih sempurna.

Hadis ini dalam sanadnya terdapat kelemahan. Ibn Mardawaih banyak meriwayatkan hadis-hadis yang lemah. Mari kita lihat sanadnya:

Sanad: Muhammad bin Ali bin Duhaiim,Ahmad bin Hazim,Musa bin Marwan Ar-Raqqi,Mubasyir bin Isma'il Al-Halabi,Tammam bin Najih,Ka’b bin Dzuhl Al-Azdi,Abu Darda

Sanad ini bermasalah karena:

Ka’b bin Dzuhl – Hafizh Adz-Dzahabi berkata: "Tidak dikenal meriwayatkan dari Abu Darda."

Tammam bin Najih – Abu Hatim berkata: "Hadisnya lemah."

Mubasyir bin Isma'il – Disebutkan dalam Taqribut-Tahdzib bahwa ia "shaduq" (jujur), tetapi memiliki kesalahan.

Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah yang kuat, tetapi maknanya bisa dikuatkan oleh hadis Abu Dzar dalam Shahih Muslim.

WAHAI PARA PEMUDA HISABLAH DIRIMU SEBELUM ENGKAU DIHISAB

SUMBER: https://islamweb.net/ar/article/228760/%D8%AD%D8%A7%D8%B3%D8%A8%D9%88%D8%A7-%D8%A3%D9%86%D9%81%D8%B3%D9%83%D9%85-%D9%82%D8%A8%D9%84-...