Oleh:
Muhamad Febriansyah
Program Studi Ilmu Al-Qur'an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora UIN Salatiga
Abstrak
Tafsir QS As-Saba 22 dan 23 merupakan
salah satu kajian tafsir yang memfokuskan pada makna yang terkandung dalam dua
ayat tersebut dari surat As-Saba. Ayat-ayat tersebut menceritakan tentang
keagungan Tuhan dan kebesaran-Nya yang tak terbatas. Penafsiran teks tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode-metode yang telah dikembangkan oleh para
ulama sepanjang sejarah, termasuk metode tafsir ilmiah dan tafsir kontekstual.
Selain itu, dalam proses tafsir juga dilakukan kajian terhadap aspek-aspek
sejarah, linguistik, dan sosial yang terkait dengan ayat-ayat tersebut. Kajian
tafsir QS As-Saba 22 dan 23 merupakan bagian penting dari studi Islam karena
Al-Qur'an merupakan sumber utama ajaran agama Islam.
penulis membingkai masalah sebagai
berikut:
1. bagaimana
ayat-ayat tersebut dapat memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari?
2. Bagaimana
tafsir ulama salaf tentang ayat tersebut?
3. mengkaji
mengetahui bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan solusi atau panduan
dalam menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi masyarakat.
Untuk membantu menemukan tafsir yang
terdapat dalama Qs As Saba ayat 22 dan 23, penulis menggunakan ilmu tafsir
sebagai rujukan
Pendahuluan
Latar Belakang
Masalah
Studi dan pembahasan tentang al-Qur’an untuk
mengetahui makna dan arti dari ayat-ayat tersebut serta mengkaji bagaimana
ayat-ayat tersebut dapat memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Ulama
Salaf Sholleh adalah para ulama terdahulu yang dianggap sebagai teladan dalam
hal tafsir. Mereka memiliki pendapat yang beragam tentang makna dan arti dari
ayat-ayat tersebut, sehingga tafsir dilakukan untuk mencari titik temu yang
dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, tafsir juga dilakukan untuk
mengetahui bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan solusi atau panduan
dalam menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi masyarakat.
Al- Qur’an
layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang masing-masing . Tak akan mungkin akal manusia yang terbatas
memiliki kemampuan melakukan interpretasi yang dapat menghasilkan makna
al-Qur’an secara sempurna. Sebagian dari hikmah terdalam bahwa Nabi Muhammad
saw tidak menafsirkan keseluruhan surat dan ayat al- Qur‟an adalah karena
dengan prilaku keseharian Nabi itulah penafsiran yang paling efektif, akhlak
Nabi mencerminkan kandungan al-Qur‟an sepenuhnya. Demikian juga dengan para
sahabat, mereka tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur‟an. Mereka mengikuti
perilaku Nabi dan menjadikan al-Qur‟an sebagai petunjuk praktis.
Di samping itu, keadaan demikian membuka pintu
selebar-lebarnya kepada umat Islam bagi berlangsungnya kegiatan penafsiran yang
sesuai dengan semangat zaman.
Setidaknya ada dua hal yang mendorong terus
berlangsungnya aktivitas penafsiran al-Qur‟an; pertama karena kebutuhan yang
mendesak dalam upaya mengamalkan kandungan al-Qur‟an dalam kehidupan
sehari-hari; kedua karena didorong oleh keinginan kuat untuk mengurai dan
membuktikan nilai-nilai al-Qur‟an dalam berbagai aspeknya.
Pertanyaan penulis
Apa tafsir QS SABA Ayat 22-23 Menurut Pendapat Ulama Salaf Sholleh
Tujuan
Tujuan umum
1. Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini
adalah untuk mendekatkan kaum muslimin kepada kecintaan terhadap alqur’an
dengan memahami kandungan maknanya yang ada di dalamnya
2. Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini
untuk mengungkap makna dan arti yang terkandung dalam teks suci, seperti
Alquran dan Hadis, serta memahami ajaran agama yang terkandung di dalamnya.
Tujuan Khusus
1. Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini
Mengetahui makna teks suci secara historis. Tafsir bertujuan untuk mengetahui
makna teks suci secara historis, yaitu dengan mempertimbangkan sejarah dan
latar belakang ayat tersebut.
2. Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini
Mengetahui makna teks suci secara sistematis. Tafsir bertujuan untuk mengetahui
makna teks suci secara sistematis, yaitu dengan memperhatikan keterkaitan antar
pasal atau ayat dalam teks suci.
3. Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini
Mengetahui makna teks suci secara kontekstual. Tafsir bertujuan untuk
mengetahui makna teks suci secara kontekstual, yaitu dengan mempertimbangkan
konteks tempat, waktu, dan situasi dimana teks tersebut diturunkan.
Manfaat
Manfaat umum
1. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang ajaran agama. Tafsir membantu dalam mengungkap makna yang terkandung
dalam ayat ini, seperti Alquran dan Hadis, sehingga masyarakat dapat memahami
ajaran agama dengan lebih baik.
2. Menjadi landasan bagi kebijakan. Tafsir
dapat menjadi dasar bagi pembuatan kebijakan yang sesuai dengan ajaran agama.
3. Memberikan panduan dalam kehidupan
sehari-hari. Tafsir dapat memberikan panduan dan arahan yang berguna dalam
menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran agama.
Manfaaat untuk Mahasiswa
1. Meningkatkan kemampuan analisis. Tafsir
membutuhkan kemampuan analisis yang tinggi, sehingga dengan melakukan tafsir,
mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan analisisnya.
2. Menjadi bekal untuk menjadi guru agama.
Bagi mahasiswa yang ingin menjadi guru agama, kemampuan tafsir merupakan salah
satu kemampuan yang harus dimiliki.
3. Menjadi bekal untuk menjadi tokoh agama.
Bagi mahasiswa yang ingin menjadi tokoh agama di masa depan, kemampuan tafsir
merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki untuk memahami dan
mengajarkan ajaran agama dengan benar.
Batasan Tulisan
Kajian ini tentang tasir Qs surat as saba ayat 22 dan
23 menggunakan pendapat ulama Salaf Sholleh seperti kitab-kitab tafsir yang
ditulis oleh ulama Salaf Sholleh, hadis-hadis yang sahih, dan riwayat-riwayat
yang terpercaya.
Susunan Tulisan
PENDAHULUAN,
berisi latar belakang, permasalahan dan pertanyaan penulisan serta tujuan,
manfaat batasan serta susunan tulisan
2. METODE:
kerangka konsep yang dipakai dalam tulisan, serta metode pengumpulan data,
pengolahan dan peyajian.
3. HASIL:
4. PEMBAHASAN:
5.
KESIMPULAN DAN SARAN:
6. UCAPAN
TERIMA KASIH
7. DAFTAR
PUSTAKA
Metode
Kerangka
konsep tentang cara penulis menggunakan teori dan membuat suatu tulisan.
Tulisan ini
menggunakan studi literatur dari beberapa hasil tulisan jurnal, buku, media
masa dan internet tentang tafsir QS as saba , kemudian dari studi literatur
akan dilakukan pengolahan atau analisa
makna teks suci secara historis,sistematis dan kontekstual . Dari situ
akan dibahas dan dibanding dari beberapa
tafsir tulisan dan pendapat yang lain, lalu dibuat kesimpulan.
PEMBAHASAN
QS SABA AYAT 22
قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۖ لَا
يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ وَمَا
لَهُمْ فِيهِمَا مِن شِرْكٍ وَمَا لَهُۥ مِنْهُم مِّن ظَهِيرٍ
Artinya : Katakanlah:
“Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali
tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.
Tafsir :
Sebab-sebab sesuatu berhak disembah:
Pertama: Dia memiliki sesuatu di langit
atau di bumi secara independen. Seandainya ada selain Allah ﷻ yang memiliki bumi
bagian utara atau pantai selatan dalam arti benar-benar dia yang menciptakannya
maka dia berhak disembah oleh orang yang berada di bawah kekuasaannya.
Kedua: Dia memiliki sesuatu di langit
atau di bumi secara bersekutu dengan yang lain. Dia tidak memiliki secara
independen, akan tetapi dia bersekutu dalam memiliki, sehingga Tuhan yang satu
tidak bisa memberikan keputusan kecuali dengan persetujuan dari Tuhan yang
lain.
Ketiga: Dia tidak memiliki apa-apa, akan
tetapi dia ikut membantu Allah ﷻ dalam urusan pengaturan
alam semesta. Jika Tuhan membutuhkan bantuannya dalam urusan pengaturan alam
semesta maka dia berhak untuk disembah.
Keempat: Dia memiliki kedudukan sehingga
bisa memberi syafaat secara independen (tanpa izin).
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ini adalah sebab-sebab kesyirikan.
Artinya jika ada makhluk yang memiliki salah satu kemampuan dari empat
perkara di atas maka dia berhak untuk disembah.
Allah ﷻ membantah semua ini, dan ternyata memang
tidak ada satu pun selain Allah ﷻ yang
disembah yang memiliki salah satu dari empat perkara di atas. Oleh
karenanya
Allah ﷻ berfirman,
﴿
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ
وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ﴾
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan)
selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan
di bumi dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit
dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu
bagi-Nya.”( as saba 22)
Allah ﷻ juga
berfirman,
﴿يَا
أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ
يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ
وَالْمَطْلُوبُ﴾
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka
dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat
lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73)
Dalam hadits qudsi Allah
ﷻ berfirman,
وَمَنْ أَظْلَمَ مِمَّنْ ذَهَبَ
يَخْلُقُ خَلْقًا كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً أَوْ لِيَخْلُقُوْا حَبَّةً
أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً
“Siapa yang lebih zalim dari orang yang
bermaksud menciptakan sesuatu seperti ciptaan-Ku? Coba saja mereka menciptakan
sebutir zarah, atau coba saja mereka menciptakan sebutir biji, atau coba saja mereka
menciptakan sebutir gandum.
Jika seluruh profesor di alam semesta berkumpul untuk menciptakan
satu biji yang jika ditanam di dalam tanah kemudian bisa tumbuh maka mereka
semua tidak akan mampu. Jika hanya Allah ﷻ yang mencipta maka
hanya Allah ﷻ
yang memiliki segala alam semesta ini. Jika ada selain Allah ﷻ yang memiliki kekuasaan
menciptakan alam semesta maka mereka berhak disembah. Sebagaimana sebagian
orang yang meyakini adanya dua Tuhan: Tuhan terang dan Tuhan kegelapan. Mereka
meyakini bahwa Tuhan terang adalah yang menciptakan kebaikan sedangkan Tuhan
kegelapan adalah yang menciptakan keburukan.
Intinya, ini adalah empat argumentasi yang seandainya selain Allah
ﷻ
memiliki salah satunya maka dia berhak untuk disembah. Oleh karenanya Ibnul
Qayyim mengatakan bahwa ayat ini menghancurkan kesyirikan dari akarnya.
Sebab-sebab sesuatu
berhak di sembah :
1. Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara independent
2. Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara bersekutu degan
yang lain
3. Dia tidak memiliki apa-apa, akan tetapi dia ikut membantu allah ﷻ dalam urusan pengaturan
alam semesta
4. Dia memiliki kedudukan sehingga bisa memberi syafaat secara
indenpenden
Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhuma memiliki
qiro’ah tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى
وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ
أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun):
Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini
(Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?. Firaun menjawab: Akan kita
bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan
mereka. Dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka. (QS. Al A’raaf [7]
: 127)
Ibnu Abbas yang membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan
kasroh hamzah, membaca lam, dan kemudian alif. Pasalnya, Fir'aun sendiri
disembah oleh rakyatnya, namun ia tidak menyembah berhala. Jadi qiro'ah persis
(وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) seperti yang dibaca oleh Ibnu Abbas. Ibnul Ambariy
mengatakan bahwa ahli bahasa mengatakan:
al ilahah (الإِلاهة) artinya al' ibadah (العبادة) yaitu peribadah.
Sedangkan makna ayat meninggalkanmu wahai Firaun dan peribadahan manusia
kepadamu
makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di
pembahasan kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan
selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap
sesembahan yang ada adalah Allah (karena kalimat tersebut dapat bermakna tidak
ada sesembahan melainkan dialah Allah)
QS SABA AYAT 23
وَلَا تَنفَعُ ٱلشَّفَٰعَةُ عِندَهُۥٓ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ
لَهُۥ ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا۟ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ
ۖ قَالُوا۟ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ
Artinya : Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan
bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu, sehingga apabila
telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata “Apakah yang telah
difirmankan oleh Tuhan-mu?” Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar”, dan Dialah
Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Tafsir :
Allah ﷻ tidak sama dengan
pemimpin-pemimpin di dunia. Di dunia ini banyak pemimpin yang membutuhkan
bantuan dari yang lainnya, baik dari anak buahnya, menterinya, temannya, atau
dari pemimpin yang lain. Pemimpin di dunia tidak bisa bergerak dengan
sendirinya. Ketika dia membutuhkan bantuan dari yang lain maka orang-orang yang
dekat dengannya memiliki kedudukan di sisinya sehingga mereka memberi syafaat
tanpa harus meminta izin dari sang penguasa.
Adapun Allah ﷻ tidaklah demikian,
karena Allah ﷻ
tidak membutuhkan apa pun. Allah ﷻ adalah Ash-Shamad,
yaitu Dzat yang tidak membutuhkan kepada siapa pun dan yang lainnya membutuhkan
kepada-Nya. Oleh karenanya tidak ada yang bisa memberikan syafaat kecuali
dengan izin Allah ﷻ.
Pengertian Syafaat
Ibnul Atsir berkata: “Kata syafaat
disebutkan beberapa kali dalam hadits Nabi SAW, baik yang berkaitan dengan
urusan dunia maupun akhirat. Syafaat artinya meminta ampunan dosa dan
kesalahan.
Lihatlah ketika di padang mahsyar,
para nabi tidak ada yang berani memberikan syafaat. Di antaranya Nabi
Adam dipuji-puji oleh manusia dengan berkata,
(الشَّفِيْـعُ)
adalah orang yang menyarankan syafa'a,t bentuk jamaknya adalah syufa'a'
(شُفَعَاءُ) yaitu. seseorang yang meminta kepentingan supaya keinginannya
terpenuhi.
Istilah
syafaat adalah perantara dalam pemenuhan suatu permintaan, yaitu perantara
antara orang yang memiliki kebutuhan dengan orang yang dapat memenuhi
kebutuhannya.
يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو البَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ،
وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ، وَأَمَرَ المَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ،
وَأَسْكَنَكَ الجَنَّةَ، أَلاَ تَشْفَعُ لَنَا إِلَى رَبِّكَ، أَلاَ تَرَى مَا
نَحْنُ فِيهِ وَمَا بَلَغَنَا
“Wahai Adam, engkau adalah bapak seluruh manusia. Allah telah menciptakan
engkau langsung dengan tangan-Nya dan meniupkan langsung ruh-Nya kepadamu, dan
memerintahkan para malaikat sujud kepadamu, dan menempatkan kamu di surga.
Tidakkah sebaiknya engkau memohon syafaat kepada Rabbmu untuk kami? Tidakkah engkau melihat apa yang sedang kami alami?”
Akan tetapi Nabi Adam ‘alaihissalam
menjawab,
رَبِّي غَضِبَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلاَ
يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وَنَهَانِي عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ، نَفْسِي
نَفْسِي
Artinya : “Rabbku marah ada hari ini
dengan suatu kemarahan yang belum pernah Dia marah seperti itu sebelumnya dan
tidak akan pula marah seperti itu sesudahnya. Dia melarang aku mendekati pohon
namun aku mendurhakai-Nya. diriku, diriku.”
Dahulu Adam melakukan sebuah dosa,
Allah ﷻ
berfirman di dalam Al-Qur’an,
﴿ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ ﴾
“dan durhakalah Adam kepada Tuhan.” (QS. Thaha: 121)
Nabi Adam bertobat dan telah
diampuni oleh Allah ﷻ,
akan tetapi dia tetap tidak berani untuk meminta syafaat. Kemudian manusia pergi
kepada nabi yang lain, akan tetapi mereka semua juga tidak bisa memberi
syafaat. Hingga mereka sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan hanya beliau yang
memiliki keberanian untuk meminta izin untuk memberi syafaat. Akan tetapi
beliau tidak langsung memberi syafaat, beliau sujud dengan sujud yang lama di
bawah Arsy. Nabi Muhammad ﷺ
bersabda,
ثُمَّ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ
الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا، لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِي
“Kemudian Allah membukakan untukku berupa pujian-pujian dan
sanjungan atas-Nya yang belum pernah disampaikan pada seorang pun sebelumku.”
Allah ﷻ dipuji dengan
pujian-pujian yang indah, dan Nabi Muhammad ﷺ memuji dengan
pujian-pujian tersebut. Akan tetapi, Nabi Muhammad ﷺ tidak menguasai seluruh
pujian-pujian tersebut karena sifat-sifat Allah ﷻ jauh lebih agung dari
yang Nabi Muhammad ﷺ
ketahui. Oleh karenanya beliau berkata,
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى
نَفْسِكَ
“aku tidak mampu untuk memuji-Mu, sebagaimana Engkau memuji
diri-Mu sendiri.”
Namun, di padang mahsyar Nabi
Muhammad ﷺ
diajarkan untuk memuji Allah ﷻ
dengan pujian-pujian yang sangat tinggi. Lalu Allah ﷻ berfirman,
يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu! Mintalah niscaya engkau akan
diberikan dan mintalah syafaat maka engkau akan diberi syafaat.”
Intinya
Nabi Muhammad ﷺ tidak bisa langsung memberi syafaat. Oleh
karenanya Allah ﷻ menyebutkan setelahnya tentang malaikat.
Malaikat adalah makhluk yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak bisa memberi
syafaat kecuali dengan izin Allah ﷻ.
Firman
Allah ﷻ,
وَلَا تَنْفَعُ
الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
“Dan
tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah
diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu”
Maksud
dari orang yang telah Allah ﷻ izinkan adalah:
- Kepada
orang yang memberi syafaat (الشَّافِع)
- Kepada
orang yang diberi syafaat (المَشْفُوْعُ لَه)
Keduanya harus mendapatkan izin
dari Allah
an tidak mungkin keduanya diizinkan kecuali orang yang bertauhid. Oleh
karenanya ketika Nabi Muhammad ﷺ ditanya, “Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?”.
Beliau menjawab,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لاَ
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ، أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat
adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau
jiwanya.”
Beliau juga bersabda,
وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا
يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا
“Dan sesungguhnya aku menyembunyikan doaku sebagai syafaat bagi
umatku pada hari kiamat. Dan insya Allah syafaatku akan didapati oleh umatku
yang meninggal yang tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun.”
Firman Allah ﷻ,
﴿ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ
رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ ﴾
“sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari jantung mereka, mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan
oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar”, dan Dialah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar”
Terdapat dua pendapat tentang yang dimaksud dengan “mereka”
dalam firman Allah عَنْ قُلُوبِهِمْ
“dari jantung mereka”
Pertama: Mereka adalah
kaum mukminin yang ingin mendapat syafaat (المَشْفُوْعُ لَهُمْ).
Maksudnya ketika Allah ﷻ mengizinkan para
malaikat untuk memberi syafaat kepada orang-orang tertentu, kaum mukminin
gelisah dan takut. Hal ini dikarenakan mereka tidak tahu apakah mereka akan
mendapatkan syafaat atau tidak? Sampai-sampai hal tersebut membuat mereka
pingsan. Ketika mereka sadar mereka bertanya kepada malaikat tentang
bagaimana keputusannya, apakah Allah ﷻ mengizinkan mereka
mendapat syafaat atau tidak?
Hal ini dikarenakan malaikat diberi
izin untuk memberikan syafaat, jika mereka tidak diberikan izin maka tentunya
mereka tidak bisa memberikan syafaat. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ
شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى ﴾
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit
pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang
dikehendaki dan diridai-Nya.” (QS. An-Najm: 26)
Inilah kegelisahan yang dirasakan
oleh kaum mukminin. Ketika kegelisahan mereka dicabut, mereka pun bertanya
kepada para malaikat apakah mereka mendapat syafaat atau tidak. Maka malaikat
pun menjawab bahwa mereka mendapatkannya.
Ditinjau dari tekstual ayat maka
pendapat ini tidak bisa di ingkari.
Kedua: Mereka adalah
para malaikat
Para malaikat ketika mendengar firman Allah ﷻ maka mereka akan
pingsan. Setelah ketakutan mereka hilang, baru kemudian mereka bisa memberi
syafaat. Ini adalah pendapat yang disampaikan oleh para ulama. Hal ini
menunjukkan bahwa para malaikat ketika ingin memberi syafaat tidak serta merta
langsung bisa memberikan. Mereka mengalami terlebih dahulu ketakutan dan
kekhawatiran. Sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ yang terlebih dahulu
sujud ketika akan memberi syafaat. Begitu juga ketika di shirath para nabi
berkata, ‘Ya
Allah! selamatkan-selamatkan’. Nabi Bersabda
وَكَلاَمُ الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ: اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ
“Dan perkataan para rasul di
hari itu, ‘Ya Allah! selamatkan-selamatkan’.
Intinya ayat ini menjelaskan bahwa
para malaikat di mana mereka adalah makhluk yang agung tidak serta merta bisa
memberi syafaat. Padahal mereka adalah makhluk yang dekat dengan Allah ﷻ, tidak memiliki dosa,
dan doa mereka dikabulkan, akan tetapi mereka memiliki rasa takut yang luar
biasa.
Penafsiran manakah yang lebih
benar? Syekh ‘Utsaimin dalam tafsirnya menguatkan pendapat yang kedua, berdalil
dengan hadis Abu Hurairah. Akan tetapi, hadis
tersebut konteksnya bersifat umum tidak berkaitan dengan syafaat,
yaitu sabda Nabi Muhammad ﷺ
إِذَا قَضَى اللَّهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ
المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى
صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟
قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ
“Apabila Allah menetapkan satu perkara di atas langit maka para
malaikat mengepakkan sayap-sayap mereka karena tunduk kepada firman-Nya,
seakan-akan rantai yang berada di atas batu besar. Apabila telah dihilangkan
rasa takut dari mereka, mereka berkata; ‘Apa yang difirmankan Rabb kita? ‘
mereka menjawab; ‘Al Haq, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.’”
Dua penafsiran ini adalah
penafsiran yang kuat. Baik ditafsirkan dengan kaum mukminin yang merasa gelisah
terlebih dahulu sebelum mereka mendapatkan syafaat atau ditafsirkan dengan
malaikat yang merasa takut terlebih dahulu sebelum memberikan syafaat. Hal ini
menunjukkan bahwa perkara syafaat bukanlah perkara yang mudah. Oleh karenanya
tidak ada yang berani berbicara di hadapan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
﴿ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا ﴾
“maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (QS. Thaha: 108)
Allah ﷻ berfirman,
﴿يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا
يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا﴾
Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri
bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang
Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar (QS An-Naba’ : 38)
Jika datang seorang raja
di dunia yang memiliki karismatik yang tinggi maka tidak ada seorang pun yang
berani berbicara. Terlebih lagi Allah ﷻ yang
menciptakan alam semesta.
Allah ﷻ menjelaskan semua ini
dalam rangka membantah kaum musyrikin. Hal ini dikarenakan mereka berbuat
kesyirikan dalam bentuk syafaat. Mereka mengatakan,
﴿ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ ﴾
“Mereka (sembahan selain Allah) itu adalah pemberi-pemberi syafaat
bagi kami di sisi Allah” (QS. Yunus: 18).
Allah ﷻ ingin menjelaskan bahwa
mereka tidak akan bisa mendapat syafaat dari dua sisi:
- Yang bisa diberikan syafaat adalah hanya
orang yang diizinkan oleh Allah ﷻ, yaitu orang-orang yang bertauhid.
- Yang memberikan syafaat juga harus
diizinkan oleh Allah ﷻ.
Sedangkan orang-orang musyrikin
dalam perkara syafaat tidak memenuhi persyaratan sama sekali.
Ayat ini jika ditafsirkan kepada malaikat maka ini menunjukkan
bahwa para malaikat memiliki jantung.Tentunya jantung malaikat tidak sama dengan jantung
manusia. Malaikat juga berpikir, berbicara, berdiskusi akan tetapi mereka tidak
sama dengan manusia. Hal ini dikarenakan kita terbuat dari air mani yang
kemudian tumbuh di rahim ibu, dan juga jantung kita terdapat sel-sel dan
urat-urat. Adapun jantung malaikat maka kita tidak tahu bagaimananya, karena
mereka terbuat dari cahaya.
Jika antara makhluk (manusia)
dengan makhluk (malaikat) tidak memiliki kesamaan meskipun penamaannya sama,
maka terlebih lagi antara makhluk dengan Tuhan. Jika kita tidak bisa
membayangkan jantung malaikat seperti apa, maka jangan sampai kita membayangkan
bagaimana Allah ﷻ.
Allah ﷻ
menyatakan bahwa diri-Nya memiliki wajah, tangan, dan kaki, akan tetapi
semuanya tidak bisa kita bayangkan. Sehingga tidak benar perkataan sebagian
orang yang mengataka bahwa jika kita menetapkan Allah ﷻ memiliki wajah maka
kita telah tasybih. Bagaimana mungkin ketika kita menetapkan Allah ﷻ memiliki tangan
dikatakan kita telah melakukan tasybih?
Sedangkan Allah ﷻ berfirman tentang
keagungan tangan-Nya,
﴿ وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا
قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴾
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan
langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)
Bagaimana bisa kita menyamakan
tangan Allah ﷻ
dengan tangan manusia? Oleh karenanya, akidah Ahlusunah Waljamaah adalah
mengimani seluruh sifat yang Allah ﷻ tetapkan di dalam
Al-Qur’an dan hadis-hadis tanpa membayangkan bagaimananya.
Rasulullah tidak diperintahkan untuk berkata kepada mereka bahwa
masing-masing kita memiliki amal perbuatan, dan masing-masing tidak akan
ditanya tentang dosa yang lain. Maka hendaknya masing-masing fokus untuk
mencari kebenaran
Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan demikian kepada mereka agar
mereka lebih perhatian kepada dakwah Nabi .
Kesimpulan
Sebab-sebab sesuatu berhak di
sembah :
1. Dia memiliki
sesuatu di langit atau di bumi secara independent
2. Dia memiliki
sesuatu di langit atau di bumi secara bersekutu degan yang lain
3. Dia tidak memiliki
apa-apa, akan tetapi dia ikut membantu allah ﷻ dalam urusan pengaturan alam
semesta
4. Dia memiliki
kedudukan sehingga bisa memberi syafaat secara indenpenden
makna ilah ini, dapat dilihat pula
pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan kalimat ‘laa ilaha illallah’
diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan
karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah (karena
kalimat tersebut dapat bermakna tidak ada sesembahan melainkan dialah Allah)
Allah ﷻ ingin menjelaskan bahwa
mereka tidak akan bisa mendapat syafaat dari dua sisi:
- Yang bisa diberikan syafaat adalah hanya
orang yang diizinkan oleh Allah ﷻ, yaitu orang-orang yang bertauhid.
- Yang memberikan syafaat juga harus
diizinkan oleh Allah ﷻ.