Minggu, 22 Januari 2023

Mengkaji QS SABA Ayat 22-23 Menurut Pendapat Ulama Salaf Sholleh


Oleh:

Muhamad Febriansyah

Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora UIN Salatiga

 

 

 

 

 

 


 

Abstrak

Tafsir QS As-Saba 22 dan 23 merupakan salah satu kajian tafsir yang memfokuskan pada makna yang terkandung dalam dua ayat tersebut dari surat As-Saba. Ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keagungan Tuhan dan kebesaran-Nya yang tak terbatas. Penafsiran teks tersebut dilakukan dengan menggunakan metode-metode yang telah dikembangkan oleh para ulama sepanjang sejarah, termasuk metode tafsir ilmiah dan tafsir kontekstual. Selain itu, dalam proses tafsir juga dilakukan kajian terhadap aspek-aspek sejarah, linguistik, dan sosial yang terkait dengan ayat-ayat tersebut. Kajian tafsir QS As-Saba 22 dan 23 merupakan bagian penting dari studi Islam karena Al-Qur'an merupakan sumber utama ajaran agama Islam.

penulis membingkai masalah sebagai berikut:

1.   bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari?

2.   Bagaimana tafsir ulama salaf tentang ayat tersebut?

3.   mengkaji mengetahui bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan solusi atau panduan dalam menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi masyarakat.

Untuk membantu menemukan tafsir yang terdapat dalama Qs As Saba ayat 22 dan 23, penulis menggunakan ilmu tafsir sebagai rujukan


 

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Studi dan pembahasan tentang al-Qur’an untuk mengetahui makna dan arti dari ayat-ayat tersebut serta mengkaji bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Ulama Salaf Sholleh adalah para ulama terdahulu yang dianggap sebagai teladan dalam hal tafsir. Mereka memiliki pendapat yang beragam tentang makna dan arti dari ayat-ayat tersebut, sehingga tafsir dilakukan untuk mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, tafsir juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan solusi atau panduan dalam menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi masyarakat.

 Al- Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing . Tak akan mungkin akal manusia yang terbatas memiliki kemampuan melakukan interpretasi yang dapat menghasilkan makna al-Qur’an secara sempurna. Sebagian dari hikmah terdalam bahwa Nabi Muhammad saw tidak menafsirkan keseluruhan surat dan ayat al- Qur‟an adalah karena dengan prilaku keseharian Nabi itulah penafsiran yang paling efektif, akhlak Nabi mencerminkan kandungan al-Qur‟an sepenuhnya. Demikian juga dengan para sahabat, mereka tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur‟an. Mereka mengikuti perilaku Nabi dan menjadikan al-Qur‟an sebagai petunjuk praktis.

Di samping itu, keadaan demikian membuka pintu selebar-lebarnya kepada umat Islam bagi berlangsungnya kegiatan penafsiran yang sesuai dengan semangat zaman.

Setidaknya ada dua hal yang mendorong terus berlangsungnya aktivitas penafsiran al-Qur‟an; pertama karena kebutuhan yang mendesak dalam upaya mengamalkan kandungan al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari; kedua karena didorong oleh keinginan kuat untuk mengurai dan membuktikan nilai-nilai al-Qur‟an dalam berbagai aspeknya.

Pertanyaan penulis

Apa tafsir QS SABA Ayat 22-23 Menurut  Pendapat Ulama Salaf Sholleh

Tujuan

Tujuan umum

1.     Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini adalah untuk mendekatkan kaum muslimin kepada kecintaan terhadap alqur’an dengan memahami kandungan maknanya yang ada di dalamnya

2.     Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini untuk mengungkap makna dan arti yang terkandung dalam teks suci, seperti Alquran dan Hadis, serta memahami ajaran agama yang terkandung di dalamnya.

Tujuan Khusus

1.     Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini Mengetahui makna teks suci secara historis. Tafsir bertujuan untuk mengetahui makna teks suci secara historis, yaitu dengan mempertimbangkan sejarah dan latar belakang ayat tersebut.

2.     Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini Mengetahui makna teks suci secara sistematis. Tafsir bertujuan untuk mengetahui makna teks suci secara sistematis, yaitu dengan memperhatikan keterkaitan antar pasal atau ayat dalam teks suci.

3.     Tujuan umum dari Penelitian Tafsir ini Mengetahui makna teks suci secara kontekstual. Tafsir bertujuan untuk mengetahui makna teks suci secara kontekstual, yaitu dengan mempertimbangkan konteks tempat, waktu, dan situasi dimana teks tersebut diturunkan.

Manfaat

Manfaat umum

1.   Memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran agama. Tafsir membantu dalam mengungkap makna yang terkandung dalam ayat ini, seperti Alquran dan Hadis, sehingga masyarakat dapat memahami ajaran agama dengan lebih baik.

2.   Menjadi landasan bagi kebijakan. Tafsir dapat menjadi dasar bagi pembuatan kebijakan yang sesuai dengan ajaran agama.

3.   Memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Tafsir dapat memberikan panduan dan arahan yang berguna dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran agama.

Manfaaat untuk Mahasiswa

1.     Meningkatkan kemampuan analisis. Tafsir membutuhkan kemampuan analisis yang tinggi, sehingga dengan melakukan tafsir, mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan analisisnya.

2.     Menjadi bekal untuk menjadi guru agama. Bagi mahasiswa yang ingin menjadi guru agama, kemampuan tafsir merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki.

3.     Menjadi bekal untuk menjadi tokoh agama. Bagi mahasiswa yang ingin menjadi tokoh agama di masa depan, kemampuan tafsir merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki untuk memahami dan mengajarkan ajaran agama dengan benar.

Batasan Tulisan

Kajian ini tentang tasir Qs surat as saba ayat 22 dan 23 menggunakan pendapat ulama Salaf Sholleh seperti kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Salaf Sholleh, hadis-hadis yang sahih, dan riwayat-riwayat yang terpercaya.

Susunan Tulisan

PENDAHULUAN, berisi latar belakang, permasalahan dan pertanyaan penulisan serta tujuan, manfaat batasan serta susunan tulisan

2. METODE: kerangka konsep yang dipakai dalam tulisan, serta metode pengumpulan data, pengolahan dan peyajian.

3. HASIL:

4. PEMBAHASAN:

5. KESIMPULAN DAN SARAN:

6. UCAPAN TERIMA KASIH

7. DAFTAR PUSTAKA

Metode

Kerangka konsep tentang cara penulis menggunakan teori dan membuat suatu tulisan.

Kotak Teks: Penulisan karya ilmiah
Kotak Teks: Studi literatur
 

 

 


Tulisan ini menggunakan studi literatur dari beberapa hasil tulisan jurnal, buku, media masa dan internet tentang tafsir QS as saba , kemudian dari studi literatur akan dilakukan pengolahan atau analisa  makna teks suci secara historis,sistematis dan kontekstual . Dari situ akan dibahas dan dibanding dari  beberapa tafsir tulisan dan pendapat yang lain, lalu dibuat kesimpulan.

 


 

PEMBAHASAN

QS SABA AYAT 22

 

قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِن شِرْكٍ وَمَا لَهُۥ مِنْهُم مِّن ظَهِيرٍ

 Artinya : Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.

 

Tafsir :

Sebab-sebab sesuatu berhak disembah:

Pertama: Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara independen. Seandainya ada selain Allah yang memiliki bumi bagian utara atau pantai selatan dalam arti benar-benar dia yang menciptakannya maka dia berhak disembah oleh orang yang berada di bawah kekuasaannya.

 

Kedua: Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara bersekutu dengan yang lain. Dia tidak memiliki secara independen, akan tetapi dia bersekutu dalam memiliki, sehingga Tuhan yang satu tidak bisa memberikan keputusan kecuali dengan persetujuan dari Tuhan yang lain.

 

Ketiga: Dia tidak memiliki apa-apa, akan tetapi dia ikut membantu Allah dalam urusan pengaturan alam semesta. Jika Tuhan membutuhkan bantuannya dalam urusan pengaturan alam semesta maka dia berhak untuk disembah.

 

Keempat: Dia memiliki kedudukan sehingga bisa memberi syafaat secara independen (tanpa izin).

 

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ini adalah sebab-sebab kesyirikan. Artinya jika ada makhluk yang memiliki salah satu kemampuan dari  empat perkara di atas maka dia berhak untuk disembah.[1]

 

Allah membantah semua ini, dan ternyata memang tidak ada satu pun selain Allah yang disembah  yang memiliki salah satu dari empat perkara di atas. Oleh karenanya

Allah berfirman,

﴿ قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ﴾

“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan di bumi dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.”( as saba 22)

 

Allah juga berfirman,

 

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ﴾

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73)


 

Dalam hadits qudsi Allah berfirman,

وَمَنْ أَظْلَمَ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ خَلْقًا كَخَلْقِيْ فَلْيَخْلُقُوْا ذَرَّةً أَوْ لِيَخْلُقُوْا حَبَّةً أَوْ لِيَخْلُقُوْا شَعِيْرَةً

Siapa yang lebih zalim dari orang yang bermaksud menciptakan sesuatu seperti ciptaan-Ku? Coba saja mereka menciptakan sebutir zarah, atau coba saja mereka menciptakan sebutir biji, atau coba saja mereka menciptakan sebutir gandum.[2]

 

Jika seluruh profesor di alam semesta berkumpul untuk menciptakan satu biji yang jika ditanam di dalam tanah kemudian bisa tumbuh maka mereka semua tidak akan mampu. Jika hanya Allah yang mencipta maka hanya Allah yang memiliki segala alam semesta ini. Jika ada selain Allah yang memiliki kekuasaan menciptakan alam semesta maka mereka berhak disembah. Sebagaimana sebagian orang yang meyakini adanya dua Tuhan: Tuhan terang dan Tuhan kegelapan. Mereka meyakini bahwa Tuhan terang adalah yang menciptakan kebaikan sedangkan Tuhan kegelapan adalah yang menciptakan keburukan.

Intinya, ini adalah empat argumentasi yang seandainya selain Allah memiliki salah satunya maka dia berhak untuk disembah. Oleh karenanya Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ayat ini menghancurkan kesyirikan dari akarnya.

Sebab-sebab sesuatu berhak di sembah :

1.     Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara independent

2.     Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara bersekutu degan yang lain

3.     Dia tidak memiliki apa-apa, akan tetapi dia ikut membantu allah dalam urusan pengaturan alam semesta

4.     Dia memiliki kedudukan sehingga bisa memberi syafaat secara indenpenden

Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah tersendiri pada ayat,

 

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ

 

“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun): Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?. Firaun menjawab: Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka. (QS. Al A’raaf [7] : 127)

Ibnu Abbas yang membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan kasroh hamzah, membaca lam, dan kemudian alif. Pasalnya, Fir'aun sendiri disembah oleh rakyatnya, namun ia tidak menyembah berhala. Jadi qiro'ah persis (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) seperti yang dibaca oleh Ibnu Abbas. Ibnul Ambariy mengatakan bahwa ahli bahasa mengatakan:[3]

al ilahah (الإِلاهة) artinya al' ibadah (العبادة) yaitu peribadah. Sedangkan makna ayat meninggalkanmu wahai Firaun dan peribadahan manusia kepadamu[4]

makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah (karena kalimat tersebut dapat bermakna tidak ada sesembahan melainkan dialah Allah)[5]

 

QS SABA AYAT 23

 وَلَا تَنفَعُ ٱلشَّفَٰعَةُ عِندَهُۥٓ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُۥ ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا۟ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا۟ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ


 
Artinya : Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?” Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar”, dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

 

Tafsir :

Allah tidak sama dengan pemimpin-pemimpin di dunia. Di dunia ini banyak pemimpin yang membutuhkan bantuan dari yang lainnya, baik dari anak buahnya, menterinya, temannya, atau dari pemimpin yang lain. Pemimpin di dunia tidak bisa bergerak dengan sendirinya. Ketika dia membutuhkan bantuan dari yang lain maka orang-orang yang dekat dengannya memiliki kedudukan di sisinya sehingga mereka memberi syafaat tanpa harus meminta izin dari sang penguasa.

Adapun Allah tidaklah demikian, karena Allah tidak membutuhkan apa pun. Allah adalah Ash-Shamad, yaitu Dzat yang tidak membutuhkan kepada siapa pun dan yang lainnya membutuhkan kepada-Nya. Oleh karenanya tidak ada yang bisa memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah .

Pengertian Syafaat

Ibnul Atsir berkata: “Kata syafaat disebutkan beberapa kali dalam hadits Nabi SAW, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat. Syafaat artinya meminta ampunan dosa dan kesalahan.[6]

Lihatlah ketika di padang mahsyar, para nabi tidak ada yang berani memberikan syafaat.  Di antaranya Nabi Adam dipuji-puji oleh manusia dengan berkata,

(الشَّفِيْـعُ) adalah orang yang menyarankan syafa'a,t bentuk jamaknya adalah syufa'a' (شُفَعَاءُ) yaitu. seseorang yang meminta kepentingan supaya keinginannya terpenuhi.[7]

Istilah syafaat adalah perantara dalam pemenuhan suatu permintaan, yaitu perantara antara orang yang memiliki kebutuhan dengan orang yang dapat memenuhi kebutuhannya.[8]

يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو البَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ، وَأَمَرَ المَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ، وَأَسْكَنَكَ الجَنَّةَ، أَلاَ تَشْفَعُ لَنَا إِلَى رَبِّكَ، أَلاَ تَرَى مَا نَحْنُ فِيهِ وَمَا بَلَغَنَا

“Wahai Adam, engkau adalah bapak seluruh manusia. Allah telah menciptakan engkau langsung dengan tangan-Nya dan meniupkan langsung ruh-Nya kepadamu, dan memerintahkan para malaikat sujud kepadamu, dan menempatkan kamu di surga. Tidakkah sebaiknya engkau memohon syafaat kepada Rabbmu untuk kami? Tidakkah engkau melihat apa yang sedang kami alami?”


 

Akan tetapi Nabi Adam ‘alaihissalam menjawab,

رَبِّي غَضِبَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلاَ يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وَنَهَانِي عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ، نَفْسِي نَفْسِي

Artinya : “Rabbku marah ada hari ini dengan suatu kemarahan yang belum pernah Dia marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pula marah seperti itu sesudahnya. Dia melarang aku mendekati pohon namun aku mendurhakai-Nya. diriku, diriku.”[9]

 

Dahulu Adam melakukan sebuah dosa, Allah berfirman di dalam Al-Qur’an,

﴿ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ ﴾

dan durhakalah Adam kepada Tuhan.” (QS. Thaha: 121)

 

Nabi Adam bertobat dan telah diampuni oleh Allah , akan tetapi dia tetap tidak berani untuk meminta syafaat. Kemudian manusia pergi kepada nabi yang lain, akan tetapi mereka semua juga tidak bisa memberi syafaat. Hingga mereka sampai kepada Nabi Muhammad , dan hanya beliau yang memiliki keberanian untuk meminta izin untuk memberi syafaat. Akan tetapi beliau tidak langsung memberi syafaat, beliau sujud dengan sujud yang lama di bawah Arsy. Nabi Muhammad bersabda,

ثُمَّ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا، لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِي

“Kemudian Allah membukakan untukku berupa pujian-pujian dan sanjungan atas-Nya yang belum pernah disampaikan pada seorang pun sebelumku.”[10] 


 

Allah dipuji dengan pujian-pujian yang indah, dan Nabi Muhammad memuji dengan pujian-pujian tersebut. Akan tetapi, Nabi Muhammad tidak menguasai seluruh pujian-pujian tersebut karena sifat-sifat Allah jauh lebih agung dari yang Nabi Muhammad ketahui. Oleh karenanya beliau berkata,

لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“aku tidak mampu untuk memuji-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”[11]

 

Namun, di padang mahsyar Nabi Muhammad diajarkan untuk memuji Allah dengan pujian-pujian yang sangat tinggi. Lalu Allah berfirman,

يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ

“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu! Mintalah niscaya engkau akan diberikan dan mintalah syafaat maka engkau akan diberi syafaat.”[12]

 

Intinya Nabi Muhammad tidak bisa langsung memberi syafaat. Oleh karenanya Allah menyebutkan setelahnya tentang malaikat. Malaikat adalah makhluk yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak bisa memberi syafaat kecuali dengan izin Allah .

Firman Allah ,

وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ

“Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu”

Maksud dari orang yang telah Allah izinkan adalah:

  1. Kepada orang yang memberi syafaat (الشَّافِع)
  2. Kepada orang yang diberi syafaat (المَشْفُوْعُ لَه)

 

Keduanya harus mendapatkan izin dari Allah[13] an tidak mungkin keduanya diizinkan kecuali orang yang bertauhid. Oleh karenanya ketika Nabi Muhammad ditanya, “Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?”. Beliau menjawab,

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ، أَوْ نَفْسِهِ

“Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” [14]

 

Beliau juga bersabda,

وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا

“Dan sesungguhnya aku menyembunyikan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat. Dan insya Allah syafaatku akan didapati oleh umatku yang meninggal yang tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun.” [15]

Firman Allah ,

﴿ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ ﴾

“sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari jantung mereka, mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar”, dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Terdapat dua pendapat tentang yang dimaksud dengan “mereka” dalam firman Allah عَنْ قُلُوبِهِمْ  “dari jantung mereka

 

PertamaMereka adalah kaum mukminin yang ingin mendapat syafaat (المَشْفُوْعُ لَهُمْ).

Maksudnya ketika Allah mengizinkan para malaikat untuk memberi syafaat kepada orang-orang tertentu, kaum mukminin gelisah dan takut. Hal ini dikarenakan mereka tidak tahu apakah mereka akan mendapatkan syafaat atau tidak? Sampai-sampai hal tersebut membuat mereka pingsan. Ketika mereka sadar mereka bertanya kepada malaikat  tentang bagaimana keputusannya, apakah Allah mengizinkan mereka mendapat syafaat atau tidak?

Hal ini dikarenakan malaikat diberi izin untuk memberikan syafaat, jika mereka tidak diberikan izin maka tentunya mereka tidak bisa memberikan syafaat. Allah berfirman,

﴿ وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى ﴾

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya.” (QS. An-Najm: 26)

Inilah kegelisahan yang dirasakan oleh kaum mukminin. Ketika kegelisahan mereka dicabut, mereka pun bertanya kepada para malaikat apakah mereka mendapat syafaat atau tidak. Maka malaikat pun menjawab  bahwa mereka mendapatkannya.

Ditinjau dari tekstual ayat maka pendapat ini tidak bisa di ingkari.

KeduaMereka adalah para malaikat[16]

Para malaikat ketika mendengar firman Allah maka mereka akan pingsan. Setelah ketakutan mereka hilang, baru kemudian mereka bisa memberi syafaat. Ini adalah pendapat yang disampaikan oleh para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa para malaikat ketika ingin memberi syafaat tidak serta merta langsung bisa memberikan. Mereka mengalami terlebih dahulu ketakutan dan kekhawatiran. Sebagaimana Nabi Muhammad yang terlebih dahulu sujud ketika akan memberi syafaat. Begitu juga ketika di shirath para nabi berkata, ‘Ya Allah! selamatkan-selamatkan’. Nabi Bersabda

وَكَلاَمُ الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ: اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ

Dan perkataan para rasul di hari itu, ‘Ya Allah! selamatkan-selamatkan’[17].

Intinya ayat ini menjelaskan bahwa para malaikat di mana mereka adalah makhluk yang agung tidak serta merta bisa memberi syafaat. Padahal mereka adalah makhluk yang dekat dengan Allah , tidak memiliki dosa, dan doa mereka dikabulkan, akan tetapi mereka memiliki rasa takut yang luar biasa.

Penafsiran manakah yang lebih benar? Syekh ‘Utsaimin dalam tafsirnya menguatkan pendapat yang kedua, berdalil dengan hadis Abu Hurairah. Akan tetapi, hadis tersebut konteksnya bersifat umum tidak berkaitan dengan syafaat,


yaitu sabda Nabi Muhammad

إِذَا قَضَى اللَّهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ

“Apabila Allah menetapkan satu perkara di atas langit maka para malaikat mengepakkan sayap-sayap mereka karena tunduk kepada firman-Nya, seakan-akan rantai yang berada di atas batu besar. Apabila telah dihilangkan rasa takut dari mereka, mereka berkata; ‘Apa yang difirmankan Rabb kita? ‘ mereka menjawab; ‘Al Haq, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.’”[18]

 

Dua penafsiran ini adalah penafsiran yang kuat. Baik ditafsirkan dengan kaum mukminin yang merasa gelisah terlebih dahulu sebelum mereka mendapatkan syafaat atau ditafsirkan dengan malaikat yang merasa takut terlebih dahulu sebelum memberikan syafaat. Hal ini menunjukkan bahwa perkara syafaat bukanlah perkara yang mudah. Oleh karenanya tidak ada yang berani berbicara di hadapan Allah . Allah berfirman,

﴿ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا ﴾

maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (QS. Thaha: 108)

Allah berfirman,

﴿يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا﴾

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar (QS An-Naba’ : 38)


 

Jika datang seorang raja di dunia yang memiliki karismatik yang tinggi maka tidak ada seorang pun yang berani berbicara. Terlebih lagi Allah yang menciptakan alam semesta.

Allah menjelaskan semua ini dalam rangka membantah kaum musyrikin. Hal ini dikarenakan mereka berbuat kesyirikan dalam bentuk syafaat. Mereka mengatakan,

﴿ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ ﴾

“Mereka (sembahan selain Allah) itu adalah pemberi-pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah” (QS. Yunus: 18).

 

Allah ingin menjelaskan bahwa mereka tidak akan bisa mendapat syafaat dari dua sisi:

  1. Yang bisa diberikan syafaat adalah hanya orang yang diizinkan oleh Allah , yaitu orang-orang yang bertauhid.
  2. Yang memberikan syafaat juga harus diizinkan oleh Allah .

Sedangkan orang-orang musyrikin dalam perkara syafaat tidak memenuhi persyaratan sama sekali.

Ayat ini jika ditafsirkan kepada malaikat maka ini menunjukkan bahwa para malaikat memiliki jantung[19].Tentunya jantung malaikat tidak sama dengan jantung manusia. Malaikat juga berpikir, berbicara, berdiskusi akan tetapi mereka tidak sama dengan manusia. Hal ini dikarenakan kita terbuat dari air mani yang kemudian tumbuh di rahim ibu, dan juga jantung kita terdapat sel-sel dan urat-urat. Adapun jantung malaikat maka kita tidak tahu bagaimananya, karena mereka terbuat dari cahaya.

 

Jika antara makhluk (manusia) dengan makhluk (malaikat) tidak memiliki kesamaan meskipun penamaannya sama, maka terlebih lagi antara makhluk dengan Tuhan. Jika kita tidak bisa membayangkan jantung malaikat seperti apa, maka jangan sampai kita membayangkan bagaimana Allah . Allah menyatakan bahwa diri-Nya memiliki wajah, tangan, dan kaki, akan tetapi semuanya tidak bisa kita bayangkan. Sehingga tidak benar perkataan sebagian orang yang mengataka bahwa jika kita menetapkan  Allah memiliki wajah maka kita telah tasybih. Bagaimana mungkin ketika kita menetapkan Allah memiliki tangan dikatakan kita telah melakukan tasybih?


 

Sedangkan Allah berfirman tentang keagungan tangan-Nya,

﴿ وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴾

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

 

Bagaimana bisa kita menyamakan tangan Allah dengan tangan manusia? Oleh karenanya, akidah Ahlusunah Waljamaah adalah mengimani seluruh sifat yang Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis tanpa membayangkan bagaimananya.[20]

Rasulullah tidak diperintahkan untuk berkata kepada mereka bahwa masing-masing kita memiliki amal perbuatan, dan masing-masing tidak akan ditanya tentang dosa yang lain. Maka hendaknya masing-masing fokus untuk mencari kebenaran[21]  Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan demikian kepada mereka agar mereka lebih perhatian kepada dakwah Nabi [22].

 

 

Kesimpulan

Sebab-sebab sesuatu berhak di sembah :

1.         Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara independent

2.         Dia memiliki sesuatu di langit atau di bumi secara bersekutu degan yang lain

3.         Dia tidak memiliki apa-apa, akan tetapi dia ikut membantu allah ﷻ dalam urusan pengaturan alam semesta

4.         Dia memiliki kedudukan sehingga bisa memberi syafaat secara indenpenden

makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah (karena kalimat tersebut dapat bermakna tidak ada sesembahan melainkan dialah Allah)

Allah ingin menjelaskan bahwa mereka tidak akan bisa mendapat syafaat dari dua sisi:

  1. Yang bisa diberikan syafaat adalah hanya orang yang diizinkan oleh Allah , yaitu orang-orang yang bertauhid.
  2. Yang memberikan syafaat juga harus diizinkan oleh Allah .

 



[1] Madarij As Salikin (1/351)

[2] HR.Muslim No .2111.

[3] Syekh Sholih Alu Syekh dalam At Tamhid halaman 74-75.

[4]  Ibnul Jauziy dalam Zadul Masir, tafsir basmalah dan Al A'raf ayat 127

 

[5] (Ma’arijul Qobul’, I/325)

[6] An Nihayah fi Ghoribil Atsar, Abus Sa’adat Al Mubarok bin Muhammad, 2/1184, Barnamij Al Muhadits Al Majaniy-Maktabah Syamilah

[7] Tajul ‘Urus, Muhammad bin Muhammad bin Abdir Rozaq Al Husainiy Abul Faidh, 1/5346, Mawqi’ Al Waroq – Maktabah Syamilah

[8] At Ta’liqot Al Mukhtashoroh ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 95, Darul ‘Ashomah

[9] HR. Bukhari No .3340 dan Muslim No. 194.

[10] HR. Bukhari No. 4712 dan Muslim No.194.

[11] HR. Muslim No. 486

[12] HR. Bukhari No. 4712 dan Muslim No.194

[13] Tafsir Al Baidhawi (4/246).

[14] HR. Bukhari No.99.

[15] HR. Muslim No . 199

[16] Tafsir Ibnu Athiyah (4/418)

[17] HR. Bukhari No. 806.

[18] HR. Bukhari No. 4800.

[19] Tafsir Al’ Utsaimin, Surah Saba’ Hlm.166.

[20] Tafsir Al- Utsaimin, Surah saba’hlm. 173.

[21] Tafsir As - sadi Hal 679

[22] At-Tahrir wa at At-Tanwir 22/193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ilmu naqd (علم النقد)

 النقد: التمييز وإخراج الزيف، شيء جميل وقبيح، دراسة الأعمال الأدبية، والبحث عن القبيح والجميل، ثم إصدار الأحكام المناسبة عنها Ilmu Naqd : Na...