Minggu, 22 Januari 2023

MENGKAJI AYAT KITAB AL-TAFSIR AL- HADIST KARYA MUHAMMAD ‘IZZAH DARWAZAH


(Kajian Tentang Konsep Kepemimpinan Q.S. AN-Nisa’ ayat 58)

 

 

 

Oleh:

 

Muhamad Febriansyah

Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga

ABSTRACK

            Mengkaji terhadap naskah merupakan langkah progressif dalam memperluas khazanah keilmuan tafsir. Upaya melihat metode tafsir nuzuli yang ditawarkan Izzat Darwazah melalui kitab tafsir al-hadis menjadi salah satu hal yang dapat digali. Penggalian data ini bertujuan untuk mendiskripsikan secara detail bagaimana konsep tafsir nuzulinya Izzat Darwazah.

            Tafsir nuzuli menjadi metode penafsiran Izzah Darwazah dalam memahami dan menyingkap makna Alquran. Tafsir kronologi yang sesuai dengan tartib nuzul ini bertujuan untuk menjadikan pembaca seakan-akan terlibat langsung dengan suasana seputar pewahyuan. Bentuk penafsiran Izzat Darwazah dapat ditemukan dalam bagian yang menjadikan unit besar maupun kecil. Serta tidak luput dalam memberikan asbab nuzul, nasakh mansukh dan penjelasan kebahasaan yang dirasa asing.

            Darwazah adalah orang pertama yang memberikan konsep tartib nuzul serta menafsirkan Alquran sesuai dengan kronologi turunnya. Dengan demikian, tafsir nuzuli yang diproduksi oleh Izzat Darwazah dalam menafsirkan Alquran tergolong penafsiran baru dan menjadi keunikan tersendiri.

            Darwazah Mencoba memberi pemahaman bahwa pemimpin harus memilki sikap bijak dalam menyerahkan amanah dan mampu membuat keputusan yang adil demi demi kepentingan dan kemanfaatan bersama

 

 

KATA KUNCI : Tafsir al hadist Izzat Darwazah, Konsep Pemimpin ideal

PENDAHULUAN

 

Studi dan pembahasan tentang al-Qur’an tidak akan ada habis-habisnya. Selalu ada hal menarik dari setiap sisinya. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.[1] Tak akan mungkin akal manusia yang terbatas memiliki kemampuan melakukan interpretasi yang dapat menghasilkan makna al-Qur’an secara sempurna. Sebagian dari hikmah terdalam bahwa Nabi Muhammad saw tidak menafsirkan keseluruhan surat dan ayat al-Qur’an adalah karena dengan prilaku keseharian Nabi itulah penafsiran yang paling efektif, akhlak Nabi mencerminkan kandungan al-Qur’an sepenuhnya. Demikian juga dengan para sahabat, mereka tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an. Mereka mengikuti perilaku Nabi dan menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk praktis[2]. Di samping itu, keadaan demikian membuka pintu selebar-lebarnya kepada umat Islam bagi berlangsungnya kegiatan penafsiran yang sesuai dengan semangat zaman.

Setidaknya ada dua hal yang mendorong terus berlangsungnya aktivitas penafsiran al-Qur’an; pertama karena kebutuhan yang mendesak dalam upaya mengamalkan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari; kedua karena didorong oleh keinginan kuat untuk mengurai dan membuktikan nilai-nilai al-Qur’an dalam berbagai aspeknya.[3]

Pada Proses penafsiran saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan. Pertama, kecenderungan sebagian umat Islam untuk bersifat ekstrem dan ketat dalam memahami nash-nash agama dan mencoba memaksakan cara tersebut.

Kedua, kecenderungan lain yang juga bersifat ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain. Kecenderungan pertama boleh jadi lahir karena melihat kenyataan umat Islam saat ini yang berada dalam kemunduran dan keterbelakangan dalam segala bidang. Karena itu, untuk meraih sebuah kebangkitan dan kejayaan seperti yang pernah dicapai oleh Islam generasi terdahulu dapat dilakukan kepada sumber otoritatif dan khazanah klasik. Sayangnya cara mereka seringkali tidak tepat. Hanya memahami teks-teks keagamaan dengan cara mengambil makna dzahirnya saja (tekstual). Sementara itu, semangat untuk mengedepankan Islam sebagai agama yang selalu sejalan dengan perkembangan zaman telah mendorong sejumlah kalangan untuk mengimpor berbagai pemikiran dan filsafat dari budaya dan peradaban lain. Hingga tak jarang dari mereka yang tenggelam dan terbelenggu dalam berbagai pemikiran dan aliran filsafat. Akibat nya mengorban teks-teks keagamaan demi penafsiran kontekstual.[4]

PEMBAHASAN

Biografi Muhammad ‘Izzah Darwazah

Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Izzah ibn ‘Abd al-Hadi Darwazah, dan lebih masyhur dengan sebutan Muhammad Darwazah. Dia dilahirkan pada Sabtu, 11 Syawal 1305 H/Juni 1887 M di kota Nablus, Palestina. Ayahnya bernama‘Abd al-Hadi ibn Darwish bin Ibrahim bin Hasan Darwazah, Seorang pedagang kain di Nablus.

Darwazah termasuk dari keluarga menengah bermarga Farihat (al-fafihat) yang mendiami desa Kafranjah Kabupaten Ajlun bagian timur Yordania. Kemudian pada awal abad ke-10 H, sebagian besar dari keluarganya melakukan hijrah ke beberapa daerah termasuk Nablus. Kemudian keluarganya menetap di daerah tersebut (Nablus). Pada usia 16 tahun, Darwazah mulai mengabdikan diri pada negara. Pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah dijalani sampai ia berusia 50 tahun, yakni pada tahun 1937 M. Setelah itu ia bergabung di partai politik dan pergerakan pembebasann Palestina dari penjajah Inggris. pada tahun 1936 pasukan kolonial Inggris dapat menumpas perjuangan Palestina dan sekaligus mematahkan aktivitas dan karir politik Darwazah. Hingga ia dipenjara selama lima tahun yaitu sejak tahun 1936 sampai tahun 1940 oleh pemerintahan Prancis dalam persidangan Mahkama Militer di Damaskus. Pasca penahanannya, Darwazah masih sempat beraktivitas di beberapa organisasi yakni menjadi anggota al-Hai‘ah al- Arabiyah al-Ulya, serta Lajnahal- Siya>siyah  wa  al-Askariyah. Dan  pada  tahun  1960 Darwazah menjadi anggota konsultan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah di Kairo dan al- Majlisal-Alali Ri’ayah al-Funun al-Adab wa  al-‘Ulum al-Ijtima>iyah  di  Syria.[5]

Menjelang akhir masa hidupnya, aktifitas Darwazah difokuskan pada berbagai kegiatan di bidang ilmiah dan sosial. Ia aktif menulis dan menjadi nara sumber dalam berbagai seminar dan perkuliahan, serta menulis artikel di berbagai koran dan majalah yang terbit di Arab, seperti Palestina, Syria, Libanon, Damaskus dan Mekkah.  Di kota Damaskus, tanggal 26 Juni 1984, Darwazah meninggal dunia.

Darwazah meninggal dunia pada usia 96 tahun, dengan meninggalkan tiga putri yang bernama Najah, Salma dan Rudaina serta seorang putera bernama Zuhair. Keempat anaknya ini ia peroleh dari pernikahan pertamanya dengan puteri pamannya yang bernama  Fa>t}imah  Bint  Qa>sim  Darwazah.  Istri  pertamanya  ini  telah meninggal lebih dulu, yaitu pada tahun 1938 M di Damaskus.

Karya Izzah Darwazah

 

Sebagai seorang intelektual M. Izzat Darwazah menyadari bahwa proses transformasi ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar disampaikan dengan cara lisan (retorika verbal) saja, melainkan juga melalui bahasa tulis. Baginya, karya merupakan sebuah kenangan abadi setelah kematian datang menjemput. Terbukti karya terakhirnya ini memiliki koneksi lebih luas dan memberikan pengaruh cukup besar dalam bidang penafsiran al-Qur’an karena memberikan corak baru dalam metodologi penafsiran.

Berikut daftar karya-karya Izzah Darwazah yang telah dihasilkan sepanjang hidupnya dalam berbagai bidang pemikiran, diantaranya:

1.     ‘Asr al-Nabi wa Bi’atuhu Qabla Bi’sah: Suwar Muqtabasah min al-Qur’an (masa dan keadaan Nabi sebelum menjadi rasul: berdasarkan al-Qur’an), cetakan pertama, 1965, Damaskus.

2.     Sirah al-Rasul: Ṣuwar Muqtabatsah Min al-Qur’an al-Karim wa Taḥlilat wa Dirasah Qur’aniyyah (sejarah Nabi: studi analisis al-Qur’an), 1948, Kairo

3.     Al-Yahūd fi al-Qur’an al-Karim (yahudi di dalam al-Qur’an), 1949, Damaskus

4.     Al-Mar’ah fi al-Qur’an wa al-Sunnah (perempuan di dalam al-Qur‟an dan sunah/hadis), 1950

5.     Al-Qur’an wa Daman al-Ijtima’i (al-Qur’an dan tanggung jawab sosial), 1951

6.     Al-Qur’an al-Majid (pengantar ilmu tafsir al-Qur’an), 1952

7.     Al-Dustur al-Qur’ani fi Syu’un al-Ḥayah: Dirᾱsah wa al-Qawa’id Qur’aniyyah fi Syu’un al-Siyasah wa al-Ijtihadiyy Maliyyah wa al- Ijtima’iyyah wa al- Usrawiyyah wa al-Akhlaqiyyah (undang- undang al-Qur’an dalam persoalan kehidupan), 1956, Kairo

8.     Al-Tafsir al-Hadis:   Tartib   al-Suwar   Hasaba   al-Nuzul   (tafsir   modern berdasarkan kronologis turunnya surah), 1381, Kairo

9.     Al-Islam wa al-Isytirᾱkiyyah (Islam dan persekutuan), 1388

10.  Al-Qur’an wa al-Mubassyirun (al-Qur’an dan missionaris), 1392, Damaskus

11.  Kitab al-Qur’an wa al-Mulhidin, 1393, Damaskus

12.  Al-Jihad fi Sabilillah fi al-Qur’an wa al-Hadis (jihad menurut al-Qur’an dan hadis), 1395, Damaskus

13.  Al-Qawa’id al-Qur’aniyyah wa al-Nabawiyyah fi Tanzhim al- Ṣalah Baina Muslimῑn wa Ghair al-muslimin (kaidah-kaidah al-Qur’an dan hadis yang mengatur hubungan umat Islam dan non- Islam), 1982, Damaskus

14.  Qawa’id al-Islamiyyah al-Dusturiyyah fi Syu’un al-Ḥayah (kaedah- kaedah/perundang-undangan Islam dalam persoalan kehidupan)

15.  Majmu’ah Maqalat Islamiyyah (kumpulan perkataan Islam yang tersebar di majalah Islam Kuwait), 1965, Damaskus

Latar Belakang Penulisan Tafsir Al Hadist

Latar belakang ini merupakan bentuk penulisan yang melandasi terciptanya kitab   tafsir   al-hadis<  .  Sejarah  terbentuknya   kitab  tersebut   menjadi  corak  dan kecenderungan kitab tersebut. Kajian atas tafsir Darwazah dinilai penting karena sebelum menjadi mufassir ia pernah berkiprah dibidang politik.[6] Untuk itu, kaitannya dengan hal tersebut akan dibahas dalam darisegi geogarfi, politik dan sosio-historis yang ada.

Sebagimana yang terlampir dalam mukaddimahnya Izzat Darwazah dalam kitab  tafsir  al-hadi<s  bahwa  latar  belakang  permulaan  penulisan  kitab tersebut ditulis atas dasar politik yang membara. Darwazah yang merupakan salah satu tokoh dalam pergerakan pembebasan Negeri untuk mendaulatkan Palestina banyak menyinggung tentang peranan diri terhadap organisasi yang digelutinya. Terbukti, keterlibatannya dalam dunia politik mengakibatkan dirinya dimasukkan dalam rumah tahanan (rutan) Saat itu.[7]

Kiprah politiknya dimulai saat Palestina berada pada kekuasaan Turki Utsmani, tahun 1917 beralih ke anak revolusi industri yaitu Inggris, konflik berdarah dengan Israel dari tahun 1938-sekarang dalam memperebutkan kedaulatan masing- masing. Dengan demkian, dapat dipastikan bahwa dinamika politik yang dilewati Darwazah memberikan pengaruh signifikan terhadap produk penafsiran yang dihasilkan.

Masa-masa tersebut merupakan ajang dimana politik menjadi jalan satu-satunya yang harus dilewati untuk menempuh hidup dan keluar dari perang berdarah. Darwazah yang kala itu juga masuk dalam rumah tahanan menjadi bukti atas keaktifan dirinya untuk mendaulatkan negara.

Uniknya, Darwazah masih bisa mengasilkan tiga karya yaitu, ‘Ashr al-Nabi wa Biatuhu Qabl Bi’tsah; Shuwar Muktabasah min Alquran al-Kari<m wa Dirasat wa Tahlila>t Qur’aniyah, S}i<rat al-rasul; Shuwar Muqtabasah min Al-quran  al-Kari<m  wa  Tahlilat>   wa Dirasat Qur’aniyah, dan al-Dustur al- Qur’aniyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fi Syu’un al-Haya al-Nabawiyah.[8]

Metode Penulisan Tafsir Al Hadist

Kitab al-Tafsir al-Hadis karya Muhammad Izzat darwazah disusun dengan menggunakan sistematika tartib al-Nuzuli yang mengacu pada kronologi turunnya wahyu. Menurut Darwazah, penulisan kitab tafsir berdasarkan tartib al-nuzuli ini masih tergolong baru dan pertama kali muncul dalam dunia penafsiran setelah masa akhir dinasti Umayyah dan awal masa dinasti Abbasiyah. Ia mengacu pada mushaf utsmani Ali bin Abi Thalib yang ditulis berdasarkan tartib nuzuli. Baginya, sejauh ini, belum ada yang mengkritik mushaf Ali. Maka dari itu, tidak ada larangan bagi seseorang untuk menulis kitab tafsir yang berdasarkan tartib nuzuli.

Sebelum menuliskan kitab tafsir berdasarkan tafsir nuzuli ini, Darwazah terlebih dahulu mendiskusikannya terlebih dahulu dan meminta pendapat dua tokoh, yaitu Syekh

 

Abi al-Yassar Abidin yang menjabat sebagai mufti Syiria dan Syeikh Abdul Fattah Aba Ghadah, seorang kandidat mufti kota Aleppo. Kedua tokoh ini kemudian mempersilahkan Darwazah untukmenulis kitab tafsir berdasarkan tafsir nuzuli.[9]

Darwazah membuat mekanisme kerja tafsirnya yang terdiri dari beberapa unsur- unsur sebagai berikut:

Pertama, membagi al-Qur’an menjadi unit-unit besar maupun kecil, baik dari segi makna, sistem maupun konteksnya. Jumlah unit-unit itu bisa jadi hanya satu ayat, beberapa ayat, atau hubungan antara ayat yang panjang-panjang.

Kedua, memberi penjelasan secara ringkas kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan yang dinilainya asing dan tidak populer yang ada dalam al-Qur’an. Aspek bahasa, gramatikal dan sastranya tidak perlu dibahas secara mendalam jika tidak terlalu dibutuhkan.

Ketiga, menjelaskan pengertian ayat secara jelas dan global terhadap unit-unit al- Qur’an sesuai kebutuhan. Aspek kebahasaannya tidak perlu dibahas secara mendalam jika tidak terlalu dibutuhkan. Jika ungkapan setiap unit-unit itu sudah demikian jelas dari segi bahasa dan sistemnya, maka tidak perlu lagi diberikan penjelasan. Cukup mendeskripsikan tujuan dan pengertian-pengertiannya saja.

Keempat, memberikan petunjuk ringkas terhadap riwayat yang berkaitan dengan kronologis turunnya ayat, pengertian dan hukumnya, menghadirkan riwayat dan pendapat-pendapat yang diperlukan, serta memberi komentar ringkas terhadap hal-hal yang memang membutuhkan komentar.

Kelima, menampilkan secara ringkas unsur-unsur yang ada di dalam al-Qur’an seperti hukum-hukum, prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan, pengajaran, arahan hukum syariat, akhlaknya, sosial masyarakat dan ajarannya yang bersifat spiritual. Juga meneliti situasi perkembangan kehidupan dan konsep-konsep tentang manusia.

Keenam, menampilkan gambaran-gambaran tentang lingkungan masyarak Arab pra dan era kenabian Muhammad, karena ia membantu memahami situasi, perjalanan, dan perkembangan dakwah kenabian. Kejelasan turunnya al-Qur’an membantu menampilkan ragam maksud-maksud al-Qur’an.


 

Ketujuh, memberi perhatian terhadap unit-unit al-Qur’an yang bersifat sarana dan penegasan. Juga tujuan dari gaya dengan ungkapan tertentu seperti ungkapan yang bersifat

kritis, analitis, apresiatif, penjelasan, bujuk rayuan, intimidatif, persuasif, pemberian contoh, penyerupaan, ancaman, pujian dan yang bersifat mengingatkan. Tidak perlu dibahas panjang lebar, cukup dibahas sesuai kebutuhan dan tentu saja tidak keluar dari kandungan awal al-Qur’an itu sendiri.

Kedelapan, menghubungkan sebagian jumlah al-Qur’an dengan sebagian lainnya atau hubungan surah-surah berdasarkan konteksnya, tema dan konsepnya. Dengan tujuan untuk menampilkan sistem al-Qur’an. Sistem ini menjadi perhatian khusus, karena ia banyak membantu memahami pesan al-Qur‟an, situasi turunnya dan ruang lingkupnya.

Kesembilan, meminta bantuan pada lafadz-lafadz, struktur dan kumpulan unit-unit sebelum menafsirkan, menjelaskan, mengkontekstualisasikan dan menggali pengertiannya, tujuannya, penegasannya, gambaran dan bukti-buktinya, selama itu semua bersifat mungkin dan niscaya. Dengan cara itu akan diketahui banyak ayat yang bersifat mutlak, muqoyyad, ‘am dan khas. Karena banyak ayat yang jumlahnya terlihat berbeda, namun memiliki kesesuaian lafadz dan makna serta maksud ayat. Setelah itu, meminta bantuan atas riwayat-riwayat dan pendapat para mufasir yang sejalan dengan konsep dan konteksnya. Apabila hal demikian bersifat mungkin.

Kesepuluh, menghubungkan dengan surah-surah yang ada sebelumnya ketika menafsiri sejumlah unit-unit al-Qur’an berikut tujuan-tujuannya jika ia bersifat mungkin, niscaya dan cukup membantu mungurangi pengulangan dan berpanjang lebar pembahasan.

Kesebelas, menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh kalangan umat Islam dan menjauhi penggunaan lafadz-lafadz yang asing dan sulit dipahami.

Keduabelas, menjelaskan kalimat-kalimat, petunjuk- petunjuk dan tema-tema penting yang diulang-ulang dengan penjelasan secukupnya pada awal pembahasan, serta menghubungkan penjelasan awal dengan penjelasan lain pada tempat lain dengan cara menghindari penjelasan yang sudah-sudah.[10]

Ketigabelas, sebelum menafsirkan pada setiap surah-surahmemberikan pengantar singkat terkait kandungan ayat, keistemewaannya, penjelasan tentang surah makiyyah dan madaniyahnya dan uraian tartib surah berdasarkan kronologisnya.[11]

          Darwazah menelaah beberapa literatur yang membahas sistematika tartib nuzuli secara serius sebelum menetapkannya. Beberapa literatur yangia komparasikan adalah mushaf Baqdar Ogly, tartib al-nuzuli milik al-Suyuthi yang disandarkan pada beberapa riwayat, sistematika surat dalam tafsir al- Khazin dan tafsir al-Tabrasi, sistematika surat berdasarkan riwayat al-Husain, Ikrimah, Ibnu Abbas, dan Jabir bin Zaid.

Diantara sumber-sumber ini terdapat perbedaan, baik yang mencolok maupun yang tidak. Darwazah kemudian menjadikan mushaf Baqdar Ogly sebagai acuan sistematika tartib nuzuli miliknya. Alasannya memilih mushaf ini adalah karena sistematika mushaf ini disusun dibawah pengawasan sebuah kepanitiaan yang terdiri dari tokoh-tokoh yang tentunya memiliki keilmuan yang tidak dapat diragukan. Itulah sebabnya Izzat Darwazah lebih mengakui tartib nuzuli yang mereka sepakati.

Pada masa pengasingannya di Turki di tahun 1941-1945 dan tidak boleh kembali ke Palestina-Turki yang saat itu kaya akan referensi dan bahan pustaka tentang ilmu ke- Islaman tidak disia-siakan Darwazah untuk memperoleh data kurat dan proyek tafsirnya.9 Tak lama kemudian, dalam kurun waktu empat tahun Izzat Darwazah terbukti mampu menyelesaikan  dua  karya  tafsir  berikutnya.  Karya  pertama  adalah  al-Qur’an  al-Maji<d sebagai pengantar  tafsir  berikutnya.  Kedua  adalah  tafsir  al-hadis<   yang  menafsirkan Alquran secara utuh 30 juz dan tetap menggunakan susunan nuzuli-tahlili (lengkap sesuai turunnya ayat).

Corak Penafsiran

Secara umum, ada empat metode dalam menafsirkan Alquran yang bisa digunakan para mufassir. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, metode tahlili/analisis yaitu menafsirkan Alquran dengan cara menjelaskan kandungan Alquran dari berbagai aspek, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassirnya. Kedua, metode ijmali/global, yaitu menafsirkan Alquran dengan memaparkan makna umum dan pengertian garis besarnya saja.[12] Ketiga, metode muqarin, yaitu menjelaskan ayat-ayat Alquran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufassir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Keempat, metode maudhu’i, yaitu suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada tema tertentu lalu menghimpun ayat-ayat tersebut untuk kemudian dianalisis dan ditafsirkan.[13]

          Adapun metode yang digunakan Izzat Darwazah dalam kitab tafsir al-hadis adalah dengan menggunakan tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-ra’yi. Alasannya bahwa, penggunaan penggunakan kedua metode tersebut terlihat seimbang dalam tafsirnya. Dalam hal ini, untuk penamaan penggabungan metode tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi, ada istilah yang digagas oleh Shalah Abdul Fattah al-Khalidi yang ia paparkan dalam kitabnya Ta’rif al- Darisin bi Manahij al-Mufassirin. Metode tersebut ia namakan dengan al- As’ari al- Naz’ari. Para mufassir yang menggunakan metode ini, menyusun antara riwayat dan pemikiran. Maka dalam penafsiran mereka akan didapati kutipan-kutipan riwayat berupa hadis  Nabi,  perkataan  Sahabat,  dan  Tabi’i<n . Selain itu juga akan didapati pendapat, ijtihad, dan analisis mufassir.[14]

Adapun bentuk penyajian tafsir yang digunakan dalam kitab ini tergolong kategori bentuk penyajian tafsir tahlili (rinci).[15] Hal ini dapat dibuktikan dengan uraian-uraian yang mendalam yang diberikan oleh Darwazah pada setiap ayat yang ditafsirkan. Ketika menafsirkan ayat, Darwazah mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan pada satu tempat. Ia juga mengutip ayat-ayat lain yang setema untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan. Oleh karena itu, kitab inijuga digolongkan kepada kitab tafsir yang menggunakan bentuk penyajianyang tematik.

Karakteristik Penafsiran M. Izza Darwazah

Sebagaimana diketahui bahwa metode yang digunakan setiap mufassir sangat berpengaruh terhadap hasil (produk) dari sebuah penafsiran. Begitu pula dengan produk penafsiran M. Izza Darwazah dalam kitab tafsirnya, al-tafsir al-hadis”. Menurut analisis penulis, terdapat 9 karakteristik penafsiran M. Izza Darwazah yang dapat kita temukan dalam masterpiecenya.Sembilan karakteristik penafsiran tersebut sebagai berikut:

1.    Sangat kritis dalam menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asbāb al- nuzul suatu ayat dan cerita israiliyat

2.    Pesan ayat al-Qur’an yang bersifat umum

3.    Menafsirkan al-Qur’an dengan tema-tema tertentu

4.    Menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa fanatisme madzhab

5.    Penggunaan rasionalitas yang terbatas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an

6.    Menafsirkan al-Qur’an dengan menolak konsep penghapusan ayat-ayat dalam al-Qur’an

7.    Menafsirkan al-Qur’an dengan menolak pendekatan tafsir sains

8.    Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat Mufassir – Mufassir lain

9.    Melemahkan argumentasi dan penafsiran orientalis yang sengaja merusak ajaran islam


 

Sebagai penutup, Pada dasarnya hasil kerja penafsir-penafsir modern merupakan pengolahan dari hasil kerja para penafsir terdahulu, tetapi mereka memiliki titik inovasi lain yang layakuntuk dihormati. Begitu pula dengan hasil kerja Darwazah, yang sudah berusaha memilih sebuah pemikiran dari sekian banyak pemikiran yang dihadirkan oleh para pemikir terdahulu, lalu menguatkan pilihan tersebut dengan argumentasi yang jelas, kemudian mengaplikasikan pes an-pesan al- Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia.

Dalam menafsirkan al-Qur’an Darwazah cenderung menggunakan bahasa yang relatif mudah dipahami, tidak mengulang-ulang suatu pembahasan dan menguraikan suatu persoalan secara terperinci dan tuntas.

Selain itu, Darwazah adalah salah satu dari mufassir modern yang menggunakan pendekatan sosio-historis, yakni sebuah pendekatan yang menekankan pentingnya memahami kondisi- kondisi aktual ketika al-Qur’an diturunkan. Sayangnya, Darwazah hanya berhenti pada konteks dimana al-Qur’an diturunkan saja. Tidak dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial- ekonomisnya. Dengan kata lain, hanya memahami al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan harfiahnya saja, tidak berusahamemproyeksikannya kepada situasi masa kini. Berbeda halnya dengan para cendekiawan muslim kontemporer yang mengaplikasikan pendekatan kesejarahan untuk menekankan pentingnya perbedaan antara tujuan atau "idea moral” al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Yang mana ideal moral yang dituju al-Qur’an tersebut lebih pantas diterapkan ketimbang legal spesifiknya.[16] Sebagai contoh, penafsiran Darwazah yang berkaitandengan sanksi (‘uqubah) seorang pencuri misalnya, akan tidakberbeda jauh dengan produk- produk penafsiran klasik yang menghendaki terlaksananya hukuman potong tangan bagi seorang pencuri dalam surah al-Ma’idah ayat 38.[17] Dalam kesatuan Surah.


 

Penafsiran Izzat Darwazah tentang Konsep kepemimpinan dalam Qs An-Nisa Ayat 58

 

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

 

 

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

 

            Ayat 58 berisi perintah Allah swt terhadaporang-orang muslim untuk menjaga dan menyampaikan amanat kepada pemiliknya.Selain itu, diperintahkan pula untuk bersikap adil dalam memutuskan suatu perkara.

            Darwazah menyatakan bahwa QS. al-Nisā’: 58 merupakan salah satu acuan dalam kriteria tersebut. Melalui munasabah ayat dan hadis-hadis pendukung, Dawazah mencoba memberi pemahaman bahwa, pertama, pemimpin harus memiliki sikap bijak dalam menyerahkan amanah kepada orang yang benar-benar mampu untuk melaksanakan tugasnya, bukan karena hubungan darah atau sejenisnya. Kedua, pemimpin harus tahu dan mampu membuat keputusan yang adil demi kepentingan dan kemanfaatan bersama.

 

Seorang pemimpin harus Memilki Sifat Fathonah/cerdas

            Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi menghadapai problema, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi. Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu tertantang untuk menyelesaikan masalah tepat waktu.

           

            Contoh kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh khalifah kedua Sayyidina Umar ibn Khattab adalah ketika beliau menerima kabar bahwa pasukan Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ibnu Jarrah yang sednag bertugas di Syria terkena wabah mematikan. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Umar ibn Khattab segera berangkat dari Madinah menuju Syria untuk melihat keadaan pasukan muslim yang sedang ditimpa musibah tersebut. Ketika beliau sampai di perbatasan, ada kabar yang menyatakan bahwa keadaan di tempat pasukan mulimin sangat gawat. Semua orang yang masuk ke wilayah tersebut akan tertular virus yang mematikan. Mendengar hal tersebut, Umar ibn Khattab segera mengambil tindakan untuk mengalihkan perjalanan. Ketika ditanya tentang sikapnya yang tidak konsisten dan dianggap telah lari dari takdir Allah, Umar bin Khattab menjawab, “Saya berplaing dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.

           

            Kecerdasan pemimpin tentunya ditopang dengan keilmuan yang mumpuni. Ilmu bagi pemimpin yang cerdas merupakan bahan bakar untuk terus melaju di atas roda kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas selalu haus akan ilmu, karena baginya hanya dengan keimanan dan keilmuan dia akan memiliki derajat tinggi di mata manusia dan juga pencipta. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an.


 

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

 

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Mujadallah ayat 11)


KESIMPULAN

 Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Izzah ibn ‘Abd al-Hadi Darwazah, dan lebih masyhur dengan sebutan Muhammad Darwazah. Dia dilahirkan pada Sabtu, 11 Syawal 1305 H/Juni 1887 M di kota Nablus, Palestina.

Darwazah menggunakan bentuk atau model penulisan tartib nuzuli, sebuah bentuk penulisan yang mencoba menafsirkan al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surah, bukan berdasarkan tartib mushaf. Sementara metode untuk menafsirkan ayat-ayat al- Quran, secara keseluruhan Darwazah menggunakan metode analitis (tahlili). Letak perbedaan metode analitis Darwazah dengan para mufasir lainterletak dalam caranya menyajikan sebuah kitab tafsir yang berdasarkan kronologis turunnya surah. Sebagaimana yang kita ketahui, pada umumnya praktik para mufasir yang menggunakan metode analitis ini menyajikan sebuah kitab tafsir berdasarkan tartib mushaf. Selain itu, letak perbedaan yang lain ialah terletak pada cara Darwazah yang tidak menafsirkan secara keseluruhan (satu persatu) ayat-ayat dalam surah.

Sedangkan corak tafsir yang paling menonjol atau mendominasi dalam kitab tafsir al-hadis karya Darwazah ialah corak “sosial-kemasyarakatan”. Hal itu terlihat dari setiap               uraian Darwazah dalam mengungkapkan makna dan pesan-pesan ayat al-Qur’an yang selalu diorientasikan pada petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan manusia.

Sedangkan pemimpin harus memiliki sikap bijak dalam menyerahkan amanah kepada orang yang benar-benar mampu untuk melaksanakan tugasnya.


 

Daftar Pustaka

Al-Farmawi, Abd   al-Hayy. 1970.  al-Bidayah  fi  al-Tafsir  al-Maudhui   (Kairo:   Darl   al- Kutub al- ‘Arabiyyah)

Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2002. Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin

(Damaskus: Darl al- Qalam) Darwazah, al-Tafsir al-Ḥadis, vol.3

Darwazah, M. Izzat Tafsir al-hadis Tartib Suwar Hasaba al-Nuzul, jilid 9

Darwazah, M. Izzat. Tafsir al-Hadis Tartib Suwar Hasaba al-Nuzul, jilid 1 Darwazah, Tafsir al-Hadis, Juz 1, Cet 2, 17

Hanafi, Muchlis. 2013. Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme berbasis agama,

(Jakarta : Ikatan Alumni Al-Azhar dan PSQ)

Imroni, Muhammad Arja. 2010. Konstruksi Metodologi Tafsir Al-Qurthubi, (Semarang: Walisongo press).

Mahmud, Abdul Halim. Al-Qur’an fi al-syahr al Ramadan, (Kairo : Dar al Ma’arif). Mardini, Fatimah. 2009. al-Tafsir wal al-Mufassirun, ( Damaskus: Bait al-Ḥikmah)

Polama‚ Ismail K. 1993. Muhammad Izzat Darwazah’s Prinsiple modern of exegesis A contribution toward Qur’anic Hermeneutic’s dalam Approach, ed. Andrew Rippin dan Abdul Kadir A. Shareef (New York: Routledge).

Senaong‚ Faried F. 2006 . Hermeneutika Alquran: Mengenal Tafsir al-Hadis Karya Izzat Darwazah Jurnal Studi Ulumul Qur’an, Vol. 1, No. 1

Shihab, M. Qurais. 2013. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: PT Mizan Pustaka).

Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera hati)

Suryadilaga, M. Al-Fatih dkk. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: penerbit Teras)

 



[1] M. Qurais shihab, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2013, h. 4

[2] Abdul Halim Mahmud, al-Qur’an fi al – syahr al Ramadan, Kairo : Dar al Ma’arif, tt , h. 5-6

[3] Ibid

[4] Muchlis Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme berbasis agama, Jakarta : Ikatan Alumni Al- Azhar dan PSQ, 2013, h. 1

[5] Muhammad Arja imroni , Konstruksi Metodologi Tafsir Al-Qurthubi, Semarang: Walisongo press, 2010,h.5

[6] Ismail K. Polama‚ Muhammad Izzat Darwazah’s Prinsiple modern of exegesis A contribution toward Qur’anic Hermeneutic’s dalam Approach, ed. Andrew Rippin dan Abdul Kadir A. Shareef (New York: Routledge, 1993), 225

[7] Faried F. Senaong‚Hermeneutika Alquran: Mengenal Tafsir al-Hadis Karya Izzat Darwazah‛ Jurnal Studi Ulumul Qur’an, Vol. 1, No. 1 (Januari 2006), 148

[8] Tiga tafsir pertama yang ia tulis pada masa penahannya adalah ‘Ashr al-Nabi wa Bi’atuhu QablBi’tsah; Shuwar Muktabasah min Alquran al-Karim wa Dirasat wa Tahlilat Qur’aniyah (Beirut: 1384/1964), ed. 2/Revisi. Draft pertamanya selesai pada bulan Muharram 1359 H/1965 M, dan terbit pada pertama kali tahun  1947.  Karya  ini  kemudian  diikuti  oleh  Si>rat  al-Rasul;  Shuwar Muqtabasah min Alquran al-Karim wa Tahlilat wa Dirasat Qur’aniyah, ed. 2/Revisi. Draft pertama dilengkapi pada bulan Ramadhan 1359/Oktober 1940, dan pertama kali terbit pada tahun 1947. Dan karya ketigaini terbit pertama kali pada 1965 dengan judul al-Dustu>r al-Qura>niyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fi Syuun al-Haya>t al-Nabawiyah

[9] Terkait penjelasan ini serta jawaban kedua tokoh yang dimintai pendapat oleh izzat Darwazah dapat dilihat langsung dalam mukaddimah tafsir Muhammad izzat Darwazah, Tafsir al hadis, Juz 1 , cet2

(Kairo:darl algharbi al islami,2000) 9-10.

[10] M.Izzat Darwazah, Tafsir al-Ḥadῑs Tartῑb Ṣuwar Ḥasaba al-Nuzūl, jilid 1,  op. cit., h. 6-8

[11] Fatimah Mardini, al-Tafsῑr wal al-Mufassirūn, Damaskus: Bait al-Ḥikmah, 2009, h. 162

[12] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera hati, 2013), 385

[13] Abd  al-Hayy  al-Farmawi,  al-Bidayah  fi  al-Tafsir  al-Maudhui  (Kairo:  Darl  al-Kutub  al- Arabiyyah,

1970), 34

[14] Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Tarif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin (Damaskus: Darl al- Qalam, 2002), 301-302

[15] Darwazah, Tafsir al-Hadis, Juz 1, Cet 2, 17

[16] M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:penerbit Teras, 2005, h. 142

[17] M. Izzat Darwazah, Tafsir al-Ḥadῑs Tartῑb Ṣuwar Ḥasaba al-Nuzūl,jilid 9, op. cit., h. 116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ilmu naqd (علم النقد)

 النقد: التمييز وإخراج الزيف، شيء جميل وقبيح، دراسة الأعمال الأدبية، والبحث عن القبيح والجميل، ثم إصدار الأحكام المناسبة عنها Ilmu Naqd : Na...