(Kajian Tentang Konsep
Kepemimpinan Q.S. AN-Nisa’ ayat 58)
Oleh:
Muhamad Febriansyah
Program Studi Ilmu Al-Qur'an
dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN)
Salatiga
ABSTRACK
Mengkaji terhadap naskah merupakan
langkah progressif dalam memperluas khazanah
keilmuan tafsir. Upaya melihat metode tafsir nuzuli yang ditawarkan Izzat Darwazah
melalui kitab tafsir al-hadis menjadi
salah satu hal yang dapat digali. Penggalian data ini bertujuan untuk
mendiskripsikan secara detail bagaimana konsep
tafsir nuzulinya Izzat Darwazah.
Tafsir nuzuli menjadi metode
penafsiran Izzah Darwazah dalam memahami dan
menyingkap makna Alquran.
Tafsir kronologi yang sesuai dengan tartib nuzul ini bertujuan untuk menjadikan pembaca
seakan-akan terlibat langsung dengan suasana
seputar pewahyuan. Bentuk penafsiran Izzat Darwazah dapat ditemukan
dalam bagian yang menjadikan unit
besar maupun kecil. Serta tidak luput dalam memberikan asbab nuzul,
nasakh mansukh dan penjelasan kebahasaan
yang dirasa asing.
Darwazah adalah orang pertama
yang memberikan konsep tartib nuzul serta menafsirkan Alquran sesuai dengan
kronologi turunnya. Dengan demikian, tafsir nuzuli yang diproduksi oleh Izzat Darwazah dalam menafsirkan Alquran
tergolong penafsiran baru dan menjadi keunikan tersendiri.
Darwazah
Mencoba memberi pemahaman bahwa pemimpin harus memilki sikap bijak dalam
menyerahkan amanah dan mampu membuat keputusan yang adil demi demi kepentingan
dan kemanfaatan bersama
KATA KUNCI : Tafsir al hadist
Izzat Darwazah, Konsep Pemimpin ideal
PENDAHULUAN
Studi dan pembahasan
tentang al-Qur’an tidak akan ada habis-habisnya. Selalu ada hal menarik
dari setiap sisinya.
Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya
yang berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang
masing-masing.[1] Tak akan mungkin
akal manusia yang terbatas memiliki
kemampuan melakukan interpretasi yang dapat menghasilkan makna
al-Qur’an secara sempurna. Sebagian dari hikmah
terdalam bahwa Nabi Muhammad saw tidak menafsirkan keseluruhan surat dan ayat al-Qur’an adalah karena dengan
prilaku keseharian Nabi itulah penafsiran yang
paling efektif, akhlak Nabi mencerminkan kandungan al-Qur’an sepenuhnya.
Demikian juga dengan para sahabat,
mereka tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an. Mereka mengikuti perilaku Nabi dan menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk
praktis[2]. Di samping itu, keadaan demikian
membuka pintu selebar-lebarnya kepada umat Islam
bagi berlangsungnya kegiatan
penafsiran yang sesuai dengan semangat
zaman.
Setidaknya ada dua hal yang mendorong terus berlangsungnya aktivitas
penafsiran al-Qur’an; pertama
karena kebutuhan yang mendesak dalam upaya mengamalkan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari; kedua karena didorong
oleh keinginan kuat untuk
mengurai dan membuktikan nilai-nilai al-Qur’an dalam berbagai aspeknya.[3]
Pada Proses
penafsiran saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan. Pertama, kecenderungan sebagian umat Islam untuk
bersifat ekstrem dan ketat dalam memahami nash-nash agama dan mencoba memaksakan cara tersebut.
Kedua, kecenderungan lain yang
juga bersifat ekstrem dengan bersikap longgar
dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal
dari budaya dan peradaban lain.
Kecenderungan pertama boleh jadi lahir karena melihat kenyataan umat Islam saat ini yang berada dalam kemunduran dan
keterbelakangan dalam segala bidang. Karena
itu, untuk meraih
sebuah kebangkitan dan kejayaan seperti
yang pernah dicapai oleh Islam generasi terdahulu dapat dilakukan kepada
sumber otoritatif dan khazanah
klasik. Sayangnya cara mereka seringkali tidak tepat. Hanya memahami
teks-teks keagamaan dengan
cara mengambil makna dzahirnya saja (tekstual). Sementara itu, semangat
untuk mengedepankan Islam sebagai agama yang
selalu sejalan dengan perkembangan zaman telah mendorong sejumlah
kalangan untuk mengimpor berbagai
pemikiran dan filsafat dari budaya dan peradaban lain. Hingga tak jarang
dari mereka yang tenggelam dan terbelenggu dalam berbagai pemikiran dan aliran filsafat. Akibat nya mengorban teks-teks
keagamaan demi penafsiran kontekstual.[4]
PEMBAHASAN
Biografi Muhammad
‘Izzah Darwazah
Nama lengkapnya
adalah Muhammad ‘Izzah ibn ‘Abd al-Hadi Darwazah, dan lebih masyhur dengan sebutan Muhammad Darwazah. Dia dilahirkan
pada Sabtu, 11 Syawal 1305 H/Juni
1887 M di kota Nablus, Palestina. Ayahnya bernama‘Abd al-Hadi ibn Darwish bin Ibrahim bin Hasan Darwazah, Seorang pedagang kain di Nablus.
Darwazah termasuk
dari keluarga menengah bermarga Farihat (al-fafihat) yang mendiami
desa Kafranjah Kabupaten Ajlun bagian timur Yordania. Kemudian
pada awal abad ke-10 H, sebagian besar dari
keluarganya melakukan hijrah ke beberapa daerah termasuk Nablus. Kemudian
keluarganya menetap di daerah tersebut
(Nablus). Pada usia 16 tahun,
Darwazah mulai
mengabdikan diri pada negara. Pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah dijalani sampai ia berusia 50
tahun, yakni pada tahun 1937 M. Setelah itu ia
bergabung di partai politik dan pergerakan pembebasann Palestina dari penjajah
Inggris. pada tahun 1936
pasukan kolonial Inggris dapat menumpas perjuangan Palestina dan sekaligus
mematahkan aktivitas dan karir politik Darwazah. Hingga ia dipenjara
selama lima tahun yaitu sejak tahun 1936 sampai tahun 1940 oleh
pemerintahan Prancis dalam persidangan
Mahkama Militer di Damaskus. Pasca penahanannya, Darwazah masih sempat beraktivitas di beberapa organisasi yakni menjadi anggota
al-Hai‘ah al- ‘Arabiyah al-‘Ulya,
serta Lajnahal- Siya>siyah wa al-‘Askariyah. Dan pada
tahun
1960
Darwazah menjadi anggota
konsultan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah di Kairo dan al- Majlisal-A’lali Ri’ayah al-Funun al-Adab
wa al-‘Ulum al-Ijtima>’iyah di
Syria.[5]
Menjelang akhir masa
hidupnya, aktifitas Darwazah difokuskan pada berbagai kegiatan di bidang ilmiah dan sosial. Ia aktif menulis dan
menjadi nara sumber dalam berbagai
seminar dan perkuliahan, serta menulis artikel di berbagai koran dan majalah yang terbit di Arab, seperti Palestina,
Syria, Libanon, Damaskus dan Mekkah. Di
kota Damaskus, tanggal 26 Juni 1984, Darwazah meninggal dunia.
Darwazah meninggal
dunia pada usia 96 tahun, dengan meninggalkan tiga putri yang bernama Najah, Salma dan Rudaina serta
seorang putera bernama
Zuhair. Keempat anaknya
ini ia peroleh dari pernikahan pertamanya dengan puteri pamannya yang bernama
Fa>t}imah Bint Qa>sim Darwazah. Istri pertamanya ini telah meninggal lebih dulu, yaitu pada tahun 1938
M di Damaskus.
Karya Izzah Darwazah
Sebagai seorang
intelektual M. Izzat Darwazah menyadari
bahwa proses transformasi ilmu pengetahuan tidak hanya
sekedar disampaikan dengan cara lisan (retorika
verbal) saja, melainkan juga melalui bahasa tulis. Baginya, karya merupakan sebuah kenangan abadi setelah kematian
datang menjemput. Terbukti karya terakhirnya
ini memiliki koneksi lebih luas dan memberikan pengaruh cukup besar
dalam bidang penafsiran al-Qur’an
karena memberikan corak baru dalam
metodologi penafsiran.
Berikut daftar karya-karya Izzah Darwazah yang telah dihasilkan sepanjang hidupnya dalam berbagai bidang pemikiran, diantaranya:
1.
‘Asr al-Nabi wa Bi’atuhu Qabla Bi’sah: Suwar Muqtabasah
min al-Qur’an (masa dan keadaan
Nabi sebelum menjadi
rasul: berdasarkan al-Qur’an), cetakan pertama,
1965, Damaskus.
2.
Sirah al-Rasul: Ṣuwar Muqtabatsah Min al-Qur’an al-Karim
wa Taḥlilat wa Dirasah Qur’aniyyah (sejarah Nabi:
studi analisis al-Qur’an), 1948,
Kairo
3.
Al-Yahūd fi al-Qur’an al-Karim (yahudi di dalam
al-Qur’an), 1949,
Damaskus
4.
Al-Mar’ah fi al-Qur’an wa al-Sunnah (perempuan di dalam al-Qur‟an dan sunah/hadis), 1950
5.
Al-Qur’an wa Daman
al-Ijtima’i (al-Qur’an dan tanggung
jawab sosial), 1951
6.
Al-Qur’an al-Majid (pengantar ilmu tafsir
al-Qur’an), 1952
7.
Al-Dustur al-Qur’ani fi Syu’un al-Ḥayah:
Dirᾱsah wa al-Qawa’id Qur’aniyyah fi Syu’un
al-Siyasah wa al-Ijtihadiyy Maliyyah wa al- Ijtima’iyyah wa al- Usrawiyyah
wa al-Akhlaqiyyah (undang- undang
al-Qur’an dalam persoalan kehidupan), 1956, Kairo
8.
Al-Tafsir al-Hadis: Tartib
al-Suwar Hasaba
al-Nuzul (tafsir modern berdasarkan kronologis turunnya
surah), 1381, Kairo
9.
Al-Islam wa al-Isytirᾱkiyyah (Islam dan persekutuan), 1388
10. Al-Qur’an wa al-Mubassyirun (al-Qur’an dan missionaris), 1392, Damaskus
11. Kitab al-Qur’an wa al-Mulhidin, 1393, Damaskus
12. Al-Jihad fi
Sabilillah fi al-Qur’an wa al-Hadis (jihad menurut al-Qur’an dan hadis), 1395, Damaskus
13. Al-Qawa’id
al-Qur’aniyyah wa al-Nabawiyyah fi Tanzhim al- Ṣalah Baina Muslimῑn
wa Ghair al-muslimin (kaidah-kaidah al-Qur’an
dan hadis yang mengatur hubungan umat Islam dan non- Islam), 1982,
Damaskus
14. Qawa’id al-Islamiyyah al-Dusturiyyah fi Syu’un al-Ḥayah (kaedah- kaedah/perundang-undangan Islam dalam persoalan kehidupan)
15. Majmu’ah Maqalat
Islamiyyah (kumpulan perkataan
Islam yang tersebar di majalah Islam
Kuwait), 1965, Damaskus
Latar Belakang Penulisan Tafsir
Al Hadist
Latar belakang ini
merupakan bentuk penulisan yang melandasi terciptanya kitab tafsir al-hadis< .
Sejarah terbentuknya kitab tersebut menjadi
corak
dan
kecenderungan kitab tersebut.
Kajian atas tafsir Darwazah dinilai
penting karena sebelum menjadi mufassir ia pernah berkiprah
dibidang politik.[6] Untuk itu,
kaitannya dengan hal tersebut akan dibahas dalam darisegi geogarfi, politik dan
sosio-historis yang ada.
Sebagimana yang terlampir dalam mukaddimahnya Izzat Darwazah dalam
kitab tafsir al-hadi<s bahwa
latar belakang permulaan penulisan kitab tersebut ditulis atas dasar politik
yang membara. Darwazah yang merupakan salah satu tokoh dalam pergerakan pembebasan Negeri untuk
mendaulatkan Palestina banyak menyinggung tentang
peranan diri terhadap organisasi yang digelutinya. Terbukti, keterlibatannya dalam dunia politik mengakibatkan dirinya dimasukkan dalam rumah tahanan (rutan)
Saat itu.[7]
Kiprah politiknya dimulai saat Palestina
berada pada kekuasaan
Turki Utsmani, tahun 1917
beralih ke anak revolusi industri yaitu Inggris, konflik berdarah dengan Israel dari tahun 1938-sekarang dalam memperebutkan kedaulatan masing- masing. Dengan demkian, dapat
dipastikan bahwa dinamika politik yang dilewati Darwazah memberikan pengaruh
signifikan terhadap produk penafsiran yang dihasilkan.
Masa-masa tersebut
merupakan ajang dimana politik menjadi jalan satu-satunya yang harus dilewati untuk menempuh hidup dan keluar
dari perang berdarah.
Darwazah yang kala itu juga
masuk dalam rumah tahanan menjadi bukti atas keaktifan dirinya untuk mendaulatkan negara.
Uniknya, Darwazah masih bisa mengasilkan tiga karya yaitu,
‘Ashr al-Nabi wa Bi’atuhu
Qabl Bi’tsah; Shuwar Muktabasah min Alquran al-Kari<m wa Dirasat wa Tahlila>t Qur’aniyah, S}i<rat al-rasul; Shuwar Muqtabasah min Al-qur’an al-Kari<m wa Tahlilat> wa Dirasat
Qur’aniyah, dan al-Dustur al- Qur’aniyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fi Syu’un al-Haya al-Nabawiyah.[8]
Metode Penulisan Tafsir
Al Hadist
Kitab al-Tafsir al-Hadis
karya Muhammad Izzat darwazah disusun
dengan menggunakan sistematika tartib al-Nuzuli
yang mengacu pada kronologi turunnya
wahyu. Menurut Darwazah,
penulisan kitab tafsir
berdasarkan tartib al-nuzuli ini
masih tergolong baru dan pertama
kali muncul dalam dunia penafsiran setelah masa akhir dinasti Umayyah
dan awal masa dinasti Abbasiyah. Ia mengacu pada mushaf utsmani Ali bin
Abi Thalib yang ditulis berdasarkan
tartib nuzuli. Baginya, sejauh ini,
belum ada yang mengkritik mushaf Ali.
Maka dari itu, tidak ada larangan bagi seseorang
untuk menulis kitab tafsir yang berdasarkan tartib nuzuli.
Sebelum menuliskan
kitab tafsir berdasarkan tafsir nuzuli ini,
Darwazah terlebih dahulu mendiskusikannya terlebih dahulu dan meminta pendapat dua tokoh, yaitu Syekh
Abi al-Yassar Abidin yang
menjabat sebagai mufti Syiria dan Syeikh Abdul Fattah Aba Ghadah, seorang
kandidat mufti kota Aleppo. Kedua tokoh ini kemudian mempersilahkan Darwazah untukmenulis kitab tafsir berdasarkan tafsir nuzuli.[9]
Darwazah membuat mekanisme
kerja tafsirnya yang terdiri dari beberapa unsur- unsur sebagai berikut:
Pertama, membagi al-Qur’an menjadi unit-unit besar maupun kecil,
baik dari segi makna, sistem maupun konteksnya. Jumlah unit-unit itu bisa jadi hanya satu ayat, beberapa
ayat, atau hubungan antara
ayat yang panjang-panjang.
Kedua, memberi penjelasan secara ringkas kalimat-kalimat,
ungkapan-ungkapan yang dinilainya asing dan tidak populer yang ada dalam al-Qur’an. Aspek bahasa, gramatikal dan sastranya tidak perlu dibahas secara mendalam
jika tidak terlalu
dibutuhkan.
Ketiga, menjelaskan pengertian ayat secara jelas dan global
terhadap unit-unit al- Qur’an sesuai
kebutuhan. Aspek kebahasaannya tidak perlu dibahas
secara mendalam jika tidak terlalu
dibutuhkan. Jika ungkapan
setiap unit-unit itu sudah demikian jelas dari segi bahasa
dan sistemnya, maka tidak perlu lagi diberikan
penjelasan. Cukup mendeskripsikan tujuan dan
pengertian-pengertiannya saja.
Keempat, memberikan petunjuk ringkas terhadap riwayat yang berkaitan
dengan kronologis turunnya
ayat, pengertian dan hukumnya, menghadirkan riwayat dan pendapat-pendapat yang diperlukan, serta memberi komentar ringkas terhadap hal-hal yang memang membutuhkan komentar.
Kelima, menampilkan
secara ringkas unsur-unsur yang ada di dalam al-Qur’an seperti hukum-hukum, prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan,
pengajaran, arahan hukum syariat,
akhlaknya, sosial masyarakat dan ajarannya yang bersifat spiritual. Juga
meneliti situasi perkembangan
kehidupan dan konsep-konsep tentang manusia.
Keenam, menampilkan gambaran-gambaran tentang lingkungan masyarak
Arab pra dan era kenabian
Muhammad, karena ia membantu memahami
situasi, perjalanan, dan perkembangan
dakwah kenabian. Kejelasan turunnya al-Qur’an membantu menampilkan ragam
maksud-maksud al-Qur’an.
Ketujuh, memberi perhatian terhadap unit-unit al-Qur’an yang
bersifat sarana dan penegasan. Juga tujuan dari gaya dengan
ungkapan tertentu seperti
ungkapan yang bersifat
kritis, analitis, apresiatif, penjelasan, bujuk rayuan,
intimidatif, persuasif, pemberian contoh, penyerupaan, ancaman,
pujian dan yang bersifat
mengingatkan. Tidak perlu
dibahas panjang lebar, cukup dibahas sesuai kebutuhan dan tentu saja
tidak keluar dari kandungan awal al-Qur’an itu sendiri.
Kedelapan, menghubungkan sebagian jumlah al-Qur’an dengan sebagian
lainnya atau hubungan surah-surah berdasarkan konteksnya, tema dan konsepnya. Dengan tujuan untuk menampilkan sistem al-Qur’an. Sistem
ini menjadi perhatian khusus, karena ia banyak membantu
memahami pesan al-Qur‟an, situasi turunnya dan ruang lingkupnya.
Kesembilan, meminta bantuan pada lafadz-lafadz, struktur dan kumpulan
unit-unit sebelum menafsirkan, menjelaskan, mengkontekstualisasikan dan menggali pengertiannya, tujuannya, penegasannya, gambaran
dan bukti-buktinya, selama itu semua
bersifat mungkin dan niscaya. Dengan cara itu akan diketahui banyak ayat
yang bersifat mutlak, muqoyyad, ‘am dan khas.
Karena banyak ayat yang jumlahnya terlihat berbeda, namun memiliki kesesuaian lafadz dan makna serta maksud ayat.
Setelah itu, meminta bantuan atas
riwayat-riwayat dan pendapat para mufasir yang sejalan dengan konsep dan konteksnya. Apabila hal demikian
bersifat mungkin.
Kesepuluh, menghubungkan dengan surah-surah yang ada sebelumnya ketika menafsiri
sejumlah unit-unit al-Qur’an berikut tujuan-tujuannya jika ia bersifat mungkin, niscaya
dan cukup membantu
mungurangi pengulangan dan berpanjang lebar pembahasan.
Kesebelas, menjelaskan kandungan
ayat al-Qur’an dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh kalangan umat Islam
dan menjauhi penggunaan lafadz-lafadz yang
asing dan sulit dipahami.
Keduabelas, menjelaskan kalimat-kalimat, petunjuk- petunjuk dan tema-tema penting yang diulang-ulang dengan
penjelasan secukupnya pada awal pembahasan, serta menghubungkan penjelasan awal dengan penjelasan lain pada
tempat lain dengan cara menghindari penjelasan yang sudah-sudah.[10]
Ketigabelas, sebelum menafsirkan pada setiap surah-surahmemberikan
pengantar singkat terkait
kandungan ayat, keistemewaannya, penjelasan tentang surah makiyyah dan madaniyahnya dan uraian tartib surah berdasarkan
kronologisnya.[11]
Darwazah menelaah
beberapa literatur yang membahas sistematika tartib nuzuli secara serius sebelum
menetapkannya. Beberapa literatur yangia komparasikan adalah mushaf Baqdar Ogly, tartib al-nuzuli milik al-Suyuthi yang disandarkan pada beberapa riwayat, sistematika surat dalam tafsir
al- Khazin dan tafsir al-Tabrasi, sistematika surat berdasarkan riwayat
al-Husain, Ikrimah, Ibnu Abbas,
dan Jabir bin Zaid.
Diantara sumber-sumber ini terdapat perbedaan, baik yang mencolok
maupun yang tidak. Darwazah kemudian menjadikan
mushaf Baqdar Ogly sebagai acuan sistematika
tartib nuzuli miliknya.
Alasannya memilih mushaf ini adalah karena sistematika mushaf ini disusun dibawah pengawasan sebuah
kepanitiaan yang terdiri dari tokoh-tokoh yang
tentunya memiliki keilmuan yang tidak dapat diragukan. Itulah sebabnya
Izzat Darwazah lebih mengakui tartib nuzuli yang mereka sepakati.
Pada masa
pengasingannya di Turki di tahun 1941-1945 dan tidak boleh kembali ke Palestina-Turki yang saat itu kaya akan
referensi dan bahan pustaka tentang ilmu ke-
Islaman tidak disia-siakan Darwazah untuk memperoleh data kurat dan proyek tafsirnya.9 Tak lama kemudian, dalam kurun waktu
empat tahun Izzat Darwazah terbukti mampu menyelesaikan
dua
karya
tafsir berikutnya. Karya pertama
adalah
al-Qur’an al-Maji<d sebagai pengantar tafsir berikutnya. Kedua adalah tafsir
al-hadis< yang menafsirkan
Alquran secara utuh 30 juz dan tetap menggunakan susunan
nuzuli-tahlili (lengkap sesuai turunnya ayat).
Corak Penafsiran
Secara umum, ada empat metode dalam menafsirkan Alquran
yang bisa digunakan para mufassir. Metode-metode tersebut adalah sebagai
berikut; Pertama, metode tahlili/analisis yaitu menafsirkan Alquran
dengan cara menjelaskan kandungan Alquran dari berbagai
aspek, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassirnya. Kedua, metode ijmali/global, yaitu menafsirkan Alquran
dengan memaparkan makna umum dan pengertian garis besarnya saja.[12] Ketiga, metode
muqarin, yaitu menjelaskan
ayat-ayat Alquran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufassir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Keempat, metode maudhu’i, yaitu suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada
tema tertentu lalu menghimpun ayat-ayat tersebut untuk kemudian dianalisis dan ditafsirkan.[13]
Adapun
metode yang digunakan Izzat Darwazah dalam kitab tafsir al-hadis adalah dengan
menggunakan tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-ra’yi. Alasannya
bahwa, penggunaan penggunakan
kedua metode tersebut terlihat seimbang dalam tafsirnya. Dalam hal ini, untuk penamaan penggabungan metode tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi, ada istilah yang digagas oleh Shalah Abdul
Fattah al-Khalidi yang ia paparkan
dalam kitabnya Ta’rif al- Darisin bi Manahij al-Mufassirin.
Metode tersebut ia namakan dengan al- As’ari
al- Naz’ari. Para mufassir yang
menggunakan metode ini, menyusun antara riwayat dan pemikiran. Maka dalam penafsiran mereka akan didapati
kutipan-kutipan riwayat berupa hadis
Nabi,
perkataan Sahabat, dan
Tabi’i<n . Selain itu juga akan didapati pendapat,
ijtihad, dan analisis mufassir.[14]
Adapun bentuk
penyajian tafsir yang digunakan dalam kitab ini tergolong kategori
bentuk penyajian tafsir tahlili (rinci).[15] Hal ini dapat
dibuktikan dengan uraian-uraian yang
mendalam yang diberikan oleh Darwazah
pada setiap ayat yang ditafsirkan. Ketika menafsirkan
ayat, Darwazah mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan pada satu tempat.
Ia juga mengutip ayat-ayat lain yang setema untuk menjelaskan ayat yang sedang
ditafsirkan. Oleh karena itu, kitab inijuga digolongkan kepada kitab tafsir yang menggunakan bentuk penyajianyang
tematik.
Karakteristik Penafsiran M. Izza Darwazah
Sebagaimana diketahui
bahwa metode yang digunakan setiap mufassir sangat berpengaruh terhadap hasil (produk) dari sebuah penafsiran. Begitu pula dengan
produk penafsiran M. Izza Darwazah
dalam kitab tafsirnya, “al-tafsir al-hadis”. Menurut analisis penulis, terdapat 9 karakteristik penafsiran M.
Izza Darwazah yang dapat kita temukan
dalam masterpiecenya.Sembilan karakteristik penafsiran tersebut sebagai
berikut:
1. Sangat kritis dalam menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asbāb al- nuzul
suatu ayat dan cerita israiliyat
2.
Pesan ayat al-Qur’an yang bersifat umum
3.
Menafsirkan al-Qur’an dengan tema-tema tertentu
4.
Menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa fanatisme madzhab
5.
Penggunaan rasionalitas yang terbatas dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an
6.
Menafsirkan al-Qur’an
dengan menolak konsep penghapusan ayat-ayat
dalam al-Qur’an
7.
Menafsirkan
al-Qur’an dengan menolak
pendekatan tafsir sains
8.
Sangat kritis
terhadap pendapat-pendapat Mufassir – Mufassir lain
9.
Melemahkan
argumentasi dan penafsiran orientalis yang sengaja merusak ajaran islam
Sebagai penutup,
Pada dasarnya hasil kerja penafsir-penafsir modern merupakan pengolahan dari hasil kerja para penafsir terdahulu, tetapi mereka memiliki titik inovasi lain yang
layakuntuk dihormati. Begitu pula dengan hasil
kerja Darwazah, yang sudah berusaha
memilih sebuah pemikiran dari sekian banyak
pemikiran yang dihadirkan oleh para pemikir terdahulu, lalu menguatkan
pilihan tersebut dengan
argumentasi yang jelas, kemudian
mengaplikasikan pes an-pesan al- Qur’an
sebagai petunjuk hidup manusia.
Dalam menafsirkan al-Qur’an Darwazah cenderung
menggunakan bahasa yang relatif mudah dipahami, tidak mengulang-ulang suatu pembahasan dan menguraikan suatu persoalan secara
terperinci dan tuntas.
Selain itu, Darwazah adalah salah satu dari mufassir modern yang menggunakan pendekatan sosio-historis, yakni sebuah pendekatan yang menekankan pentingnya memahami kondisi- kondisi
aktual ketika al-Qur’an
diturunkan. Sayangnya, Darwazah hanya berhenti pada konteks dimana
al-Qur’an diturunkan saja. Tidak
dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial- ekonomisnya. Dengan kata lain, hanya memahami al-Qur’an
dalam konteks kesejarahan dan
harfiahnya saja, tidak berusahamemproyeksikannya kepada situasi masa kini. Berbeda halnya dengan para
cendekiawan muslim kontemporer yang mengaplikasikan pendekatan kesejarahan untuk menekankan pentingnya perbedaan antara
tujuan atau "idea moral” al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Yang mana ideal moral yang dituju al-Qur’an
tersebut lebih pantas diterapkan ketimbang
legal spesifiknya.[16] Sebagai
contoh, penafsiran Darwazah yang berkaitandengan sanksi (‘uqubah)
seorang pencuri misalnya,
akan tidakberbeda jauh dengan produk-
produk penafsiran klasik
yang menghendaki terlaksananya hukuman potong tangan
bagi seorang pencuri dalam
surah al-Ma’idah ayat 38.[17] Dalam kesatuan
Surah.
Penafsiran Izzat
Darwazah tentang Konsep kepemimpinan dalam Qs An-Nisa Ayat 58
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن
تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ
أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Ayat 58
berisi perintah Allah swt terhadaporang-orang muslim untuk menjaga dan
menyampaikan amanat kepada pemiliknya.Selain itu, diperintahkan pula untuk
bersikap adil dalam memutuskan suatu perkara.
Darwazah
menyatakan bahwa QS. al-Nisā’: 58 merupakan salah satu acuan dalam kriteria
tersebut. Melalui munasabah ayat dan hadis-hadis pendukung, Dawazah mencoba
memberi pemahaman bahwa, pertama, pemimpin harus memiliki sikap
bijak dalam menyerahkan amanah kepada orang yang benar-benar mampu untuk
melaksanakan tugasnya, bukan karena hubungan darah atau sejenisnya. Kedua, pemimpin harus tahu dan mampu
membuat keputusan yang adil demi kepentingan dan kemanfaatan bersama.
Seorang pemimpin harus Memilki Sifat Fathonah/cerdas
Seorang
pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga
memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam
memecahkan segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang
cerdas tidak mudah frustasi menghadapai problema, karena dengan kecerdasannya
dia akan mampu mencari solusi. Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah
berlangsung lama, karena dia selalu tertantang untuk menyelesaikan masalah
tepat waktu.
Contoh
kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh khalifah kedua Sayyidina Umar ibn
Khattab adalah ketika beliau menerima kabar bahwa pasukan Islam yang dipimpin
oleh Abu Ubaidah ibnu Jarrah yang sednag bertugas di Syria terkena wabah
mematikan. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Umar ibn Khattab segera
berangkat dari Madinah menuju Syria untuk melihat keadaan pasukan muslim yang
sedang ditimpa musibah tersebut. Ketika beliau sampai di perbatasan, ada kabar
yang menyatakan bahwa keadaan di tempat pasukan mulimin sangat gawat. Semua
orang yang masuk ke wilayah tersebut akan tertular virus yang mematikan.
Mendengar hal tersebut, Umar ibn Khattab segera mengambil tindakan untuk
mengalihkan perjalanan. Ketika ditanya tentang sikapnya yang tidak konsisten
dan dianggap telah lari dari takdir Allah, Umar bin Khattab menjawab, “Saya
berplaing dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.
Kecerdasan
pemimpin tentunya ditopang dengan keilmuan yang mumpuni. Ilmu bagi pemimpin
yang cerdas merupakan bahan bakar untuk terus melaju di atas roda
kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas selalu haus akan ilmu, karena baginya
hanya dengan keimanan dan keilmuan dia akan memiliki derajat tinggi di mata
manusia dan juga pencipta. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا
قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ
ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
Artinya:
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Mujadallah ayat 11)
KESIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Muhammad
‘Izzah ibn ‘Abd al-Hadi Darwazah, dan lebih
masyhur dengan sebutan Muhammad Darwazah. Dia dilahirkan pada Sabtu, 11 Syawal
1305 H/Juni 1887 M di kota Nablus,
Palestina.
Darwazah menggunakan bentuk atau model
penulisan tartib nuzuli, sebuah
bentuk penulisan yang mencoba
menafsirkan al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surah, bukan berdasarkan tartib mushaf. Sementara metode untuk menafsirkan ayat-ayat al- Quran, secara keseluruhan Darwazah menggunakan metode analitis (tahlili). Letak perbedaan
metode analitis Darwazah dengan para mufasir lainterletak dalam caranya menyajikan sebuah kitab tafsir yang berdasarkan kronologis turunnya surah. Sebagaimana yang kita ketahui,
pada umumnya praktik
para mufasir yang menggunakan metode
analitis ini menyajikan
sebuah kitab tafsir berdasarkan tartib
mushaf. Selain itu, letak perbedaan yang
lain ialah terletak pada cara Darwazah yang tidak menafsirkan secara
keseluruhan (satu persatu)
ayat-ayat dalam surah.
Sedangkan corak tafsir yang paling menonjol
atau mendominasi dalam kitab tafsir al-hadis karya Darwazah ialah corak
“sosial-kemasyarakatan”. Hal itu terlihat dari setiap uraian Darwazah dalam mengungkapkan makna dan pesan-pesan
ayat al-Qur’an yang selalu diorientasikan pada petunjuk al-Qur’an
bagi kehidupan manusia.
Sedangkan pemimpin
harus memiliki sikap bijak dalam menyerahkan amanah kepada orang yang
benar-benar mampu untuk melaksanakan tugasnya.
Daftar Pustaka
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. 1970. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: Darl al- Kutub al- ‘Arabiyyah)
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2002. Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin
(Damaskus:
Darl al- Qalam) Darwazah, al-Tafsir al-Ḥadis, vol.3
Darwazah, M. Izzat Tafsir al-hadis
Tartib Suwar Hasaba al-Nuzul, jilid
9
Darwazah, M. Izzat. Tafsir al-Hadis
Tartib Suwar Hasaba al-Nuzul, jilid 1 Darwazah, Tafsir al-Hadis,
Juz 1, Cet 2, 17
Hanafi, Muchlis. 2013. Moderasi
Islam: Menangkal Radikalisme berbasis agama,
(Jakarta : Ikatan Alumni Al-Azhar dan PSQ)
Imroni, Muhammad Arja. 2010. Konstruksi Metodologi Tafsir Al-Qurthubi, (Semarang:
Walisongo press).
Mahmud, Abdul Halim. Al-Qur’an fi
al-syahr al Ramadan, (Kairo : Dar al Ma’arif). Mardini, Fatimah. 2009. al-Tafsir wal al-Mufassirun, ( Damaskus: Bait al-Ḥikmah)
Polama‚ Ismail K. 1993. Muhammad
Izzat Darwazah’s Prinsiple modern of exegesis A contribution toward Qur’anic
Hermeneutic’s dalam Approach,
ed. Andrew Rippin
dan Abdul Kadir
A. Shareef (New York:
Routledge).
Senaong‚ Faried F. 2006 . Hermeneutika Alquran: Mengenal Tafsir al-Hadis Karya Izzat Darwazah Jurnal Studi Ulumul Qur’an, Vol. 1, No.
1
Shihab, M. Qurais. 2013. Wawasan
al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: PT Mizan Pustaka).
Shihab, M. Quraish.
2013. Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera hati)
Suryadilaga, M. Al-Fatih
dkk. 2005. Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: penerbit Teras)
[1] M. Qurais shihab,
Wawasan al-Qur’an : Tafsir Tematik
atas Pelbagai Persoalan Umat,
Jakarta: PT Mizan
Pustaka, 2013, h. 4
[2]
Abdul Halim Mahmud, al-Qur’an fi al –
syahr al Ramadan, Kairo : Dar al
Ma’arif, tt , h. 5-6
[3]
Ibid
[4] Muchlis Hanafi, Moderasi
Islam: Menangkal Radikalisme berbasis
agama, Jakarta : Ikatan Alumni Al- Azhar dan PSQ, 2013, h. 1
[5] Muhammad Arja imroni
, Konstruksi Metodologi Tafsir Al-Qurthubi, Semarang:
Walisongo press, 2010,h.5
[6] Ismail K.
Polama‚ Muhammad Izzat Darwazah’s Prinsiple
modern of exegesis A contribution toward Qur’anic
Hermeneutic’s dalam Approach, ed. Andrew Rippin dan Abdul Kadir A. Shareef (New
York: Routledge, 1993), 225
[7]
Faried F. Senaong‚Hermeneutika Alquran: Mengenal Tafsir al-Hadis Karya Izzat
Darwazah‛ Jurnal Studi Ulumul Qur’an, Vol. 1, No. 1 (Januari
2006), 148
[8] Tiga tafsir pertama yang ia tulis pada masa penahannya adalah ‘Ashr al-Nabi wa Bi’atuhu QablBi’tsah; Shuwar Muktabasah min Alquran al-Karim wa
Dirasat wa Tahlilat Qur’aniyah (Beirut: 1384/1964), ed. 2/Revisi. Draft pertamanya selesai pada
bulan Muharram 1359 H/1965 M, dan terbit pada pertama
kali tahun 1947. Karya ini kemudian diikuti oleh Si>rat al-Rasul; Shuwar Muqtabasah min Alqur’an al-Karim wa Tahlilat wa Dirasat
Qur’aniyah, ed. 2/Revisi.
Draft pertama dilengkapi pada bulan Ramadhan
1359/Oktober 1940, dan pertama kali terbit pada tahun 1947. Dan karya
ketigaini terbit pertama kali pada 1965 dengan judul al-Dustu>r al-Qur’a>niyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fi Syu’un al-Haya>t al-Nabawiyah
[9] Terkait penjelasan ini serta jawaban kedua tokoh yang dimintai
pendapat oleh izzat Darwazah dapat dilihat langsung dalam mukaddimah tafsir
Muhammad izzat Darwazah, Tafsir al hadis, Juz 1 , cet2
(Kairo:darl algharbi al islami,2000)
9-10.
[10] M.Izzat Darwazah, Tafsir al-Ḥadῑs
Tartῑb Ṣuwar Ḥasaba al-Nuzūl, jilid 1, op. cit., h. 6-8
[11] Fatimah Mardini, al-Tafsῑr wal al-Mufassirūn, Damaskus:
Bait al-Ḥikmah, 2009, h. 162
[12] M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera
hati, 2013), 385
[13] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: Darl al-Kutub al- ‘Arabiyyah,
1970), 34
[14] Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin (Damaskus: Darl al- Qalam,
2002), 301-302
[15] Darwazah, Tafsir al-Hadis, Juz
1, Cet 2, 17
[16] M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Metodologi
Ilmu Tafsir, Yogyakarta:penerbit Teras, 2005, h. 142
[17] M. Izzat Darwazah, Tafsir al-Ḥadῑs
Tartῑb Ṣuwar Ḥasaba al-Nuzūl,jilid
9, op.
cit., h. 116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar